Senin, 20 Juni 2011

Bayang-bayang Teuar ( Fantasy Fiesta 2011)


Aku berada di tengah Pelataran Merah, dan orang yang pertama kali kutemui adalah aku. Dalam remang fajar yang baru menjelang, kami tampak begitu serupa. Bola matanya berkilau hijau daun muda – aku juga. Hidungku melengkung seperti paruh burung – dia juga. Tetapi ketika sang surya merangkak naik di balik punggungku, dan bayanganku merayap panjang hingga mencapai ujung sepatunya, kudapati bahwa di belakang tubuhnya tidak ada bayangan. Dia aku, namun bukan aku.


Ada satu malam pada bulan kedua musim gugur ketika usiaku mencapai tiga belas tahun. Sebagai gembala upahan aku bersujud mengantar susu asam serta keju dalam tenda besar beralas permadani. Mataku begitu dekat dengan tanah, hingga hanya dua pasang kaki  yang kulihat sedang duduk bersila di balik meja. Yang satu mengenakan sepatu hitam bersulam wujud angin dari benang emas. Ini adalah Tetua Achlag, sahabat Tuanku Tetua Sana. Sedang yang duduk di sebelahnya, mengenakan sepatu cokelat berumbai biasa tanpa benang emas, ialah Naymad, putranya.
“Hamba Teuar yang bekerja pada Tetua Sana mengantarkan susu asam dan keju untuk Tuanku berdua.” Aku memberi salam tanpa mengangkat wajah.
“Teuar!” Tetua Achlag tertawa. “Aku kenal namamu. Sana memujikanmu berkali-kali padaku.” Bukan sekali aku mendengar perkataan seperti ini.
“Hamba hanya gembala upahan tidak berguna, mana berani menerima pujian Tuanku.”
“Kalau begitu aku harus memujimu dua kali. Kemarilah dan angkatlah kepalamu.”
Maka kuangkat kepalaku, dan yang pertama menarik mataku adalah kilauan patung batu permata.
Jernih halus rupanya
Seekor kuda menantang angkasa
Dalam ribu-ribu permainan warna
Permata tua dari tahun yang telah lama
Tidak asing patung itu bagi mataku. Aku terpukau oleh kecantikannya. Jika satu yang demikian ada di dalam tendaku, apakah artinya puluhan kereta emas murni Oshtogar? Sebab bukan dari permata biasa ia dibuat. Kilaunya tujuh warna, menari-nari seperti permainan cahaya dalam pinggan ajaib.
Oh, betapa terpesona aku dalam pelangimu.
Hijau dan biru, dan merah.
Dan putih.
Aku membelalak. Dari pintu kerlip kilat menerobos masuk, memantulkan bayanganku pada dinding di belakang Tetua Achlag. Di sana seorang pria berdiri. Pakaiannya kemeja biru muda dengan kerah bersilang dan topi yang tepinya menjuntai hingga menutup dagu – seperti aku. Tangan kanannya memegang belati telanjang, sedang yang kiri diletakkan pada bahu Tetua Achlag. Aku melonjak. Tetua menoleh, bukan ke arahku tetapi orang itu.
Penyusup!
Kucabut belati. Namun tubuhku terangkat dan melayang, dan tahu-tahu aku sudah tertelungkup mencium permadani.
“Penyusup!” sergah Naymad. Aku tahu sepatunya telah berada di atas tengkukku.
“Lepaskan, anakku.”
Tanpa sadar kuarahkan pandangan ke atas. Aku melihat dia yang menyelamatkan nyawaku. Tetua Achlag dalam jubah hitam kebesarannya, rautnya kokoh seperti karang, seorang pria yang gagah perkasa. Tetapi di balik punggungnya, tidak ada orang.
Di mana penyusup itu?
Guntur menyahut. Bulu kudukku meremang. Secepat kilat muncul dan lenyap, secepat itulah ia datang dan pergi.
Apa itu?
“Dia gembala hina yang mencoba menghabisi nyawa Tuanku,” suara Naymad bicara. Sejurus kemudian aku mendengar delapan orang Tetua Achlag merangsek masuk karena mendengar teriakan sang tuan muda.
Aku tidak bersalah. Tetapi sebagai seorang anak yang baru beranjak dewasa, hatiku dilanda ketakutan. Segera aku bersujud membenturkan dahi ke tanah.
“Hamba gembala hina. Hamba pantas mati.” Tenggorokanku tercekat. “Hamba mengira seorang penyusup muncul tepat di balik punggung Tuanku dan hendak membunuh Tuanku dengan belati. Namun mata hamba tertipu oleh permainan kilat dan guntur.”
“Kau berbohong,” sahut Naymad tajam. “Tak mungkin seorang penyusup dapat masuk kemari dan bersembunyi di balik Tuanku Achlag tanpa sepengetahuan kami.”
Aku bersumpah.
Namun Tetua Achlag telah mendahuluiku bicara. “Aku tidak akan menyalahkanmu dalam hal ini, Teuar. Karena aku tahu kau melakukannya untuk melindungiku dari – penyusup.” Kata terakhirnya mengambang di udara – ia memandang bahu kirinya. “Bukankah itu tindakan orang terhormat?”
“Hamba gembala hina. Tetapi jika Tuanku berkenan, hamba, Teuar, bersedia mengabdi kepada Tuanku seumur hidup.” Lagi, kutundukkan kepalaku.
 “Kau sudah mengabdi pada Sana, mana bisa mengabdi padaku juga.” Tetua Achlag berhenti sejenak. “Tetapi kuterima niat baikmu. Jika suatu saat aku membutuhkan bantuanmu, biarlah kau kupanggil dan datanglah untuk membalas budi.”
 “Terima kasih Tuan.” Kubenturkan kepalaku ke permadani sebagai tanda hormat. Kemudian setengah malu, setengah gemetar, aku keluar cepat-cepat. Nampan berisi susu asam dan keju masih tergeletak di atas permadani, dan belatiku tidak jauh darinya. Tapi keduanya tidak menjadi soal selama kepalaku masih melekat pada tubuhku.
Angin berhembus dingin. Namun pada karpet langit yang hitam pekat, titik-titik bintang bersinar tanpa ragu. Aku merapatkan kemejaku, melangkah buru-buru dengan tangan terlipat di dada. Mengingat kejadian di tenda, jantungku berdebar. Jika tidak ada awan maupun hujan, mengapa guntur dapat mengaum?
Baru saja kulihat ujung tenda kecilku di kejauhan, sesuatu menepuk bahuku. Aku tersentak.
“Mengapa kau masih ada di sini?” tanya sebuah suara.
Aku menoleh dan mendapati dia adalah Sarda, pelayan anak gadis Tuanku Sana.
“Baru saja kulihat kau mengambil air dari tong lalu masuk ke dalam kemahmu,” katanya.
“Aku hanya mencari angin.”
Segera aku melengos, berlari secepat mungkin menuju tenda. Saat kubuka pintu kulit kemahku, kulihat dia duduk di balik meja, menatap aku. Dan di atas meja berdiri gagah patung kuda permata.
Pencuri!
Kututup pintu di belakang punggungku. Kabar apa yang akan tersiar jika seorang penyusup mencuri dari Tetua Achlag?
“Siapa kau?” Aku merendahkan suara. “Apa yang kau lakukan di tendaku?”
“Aku Penuntunmu,” kata suaraku – tapi bukan dari bibirku.
Pendar cahaya kuda permata menjadi lampu tenda. Di seberangnya kulihat wajahku. Bukan wajahku sendiri, namun dia-yang-adalah-aku.
Kulitnya cokelat seperti aku, rambutnya merah seperti aku, bibirnya tipis seperti aku. Aku dan aku.
Apakah kamu?
Tetapi sebelum aku bersuara, ia lebih dahulu mengangkat tangan kanannya. “Duduklah, Teuar,” katanya.  “Aku datang dari Pelataran Merah untuk membimbingmu.”
“Apa yang kau bicarakan?” Namun tubuhku mendekat juga ke meja dan duduk di hadapannya.
“Kau melupakan siapa dirimu, Teuar.”
Diraihnya tanganku. Hangat. Ia memutari meja, mendekapku dari belakang. Aku merasakan nafasnya pada pipiku. Lembut, dan nyaman. Ingin kubenamkan diriku dalam pelukannya, lalu terbang ke alam mimpi.
Tapi, “Lihat,” katanya. “Aku bisa memberimu kekuatan.”
Ia mengalungkan sesuatu pada leherku. Untaian manik-manik, dingin seperti batu kumala. Tepat di tengah, tergantung manik yang paling besar. Segitiga samasisi, kemerah-merahan seperti kobaran api.
“Patung permata memanggilmu,” katanya lagi. Diangkatnya jemari melewati bahuku, menunjuk lurus kepada patung kuda permata.
Oh, sempurnanya wahai kuda permata. Surainya yang mengembang anggun. Otot-ototnya yang liat perkasa. Warna demi warna memenuhi mataku, dan telingaku, dan diriku.
Aku melihat rerumputan muda, baru menghijau di bawah matahari musim semi. Di atasnya berdiri tenda bundar, berselimut kulit celupan ungu dengan rumbai-rumbai tiga lapis bersepuh emas. Di muka pintunya seorang lelaki berdiri. Jubahnya biru tua, topinya berhias rangkaian bulu burung api, mencuat seperti surai wujud angin. Dialah Sang Tetua Tertinggi. Ayah.
Tiba-tiba warna-warna bergoyang bagai kain dihembus angin. Kelabu bercampur merah. Hijau bercampur biru. Aku melihat wajah ibuku. Hitam menari. Mereka datang dengan golok dan panah. Wajahnya garang seperti harimau putih dari Oshtogar. Ungu melonjak. Ibuku memekik. Merah menguar. Darah. Di permadani, di tepi meja, di dinding tenda. Di ambang pintu. Emas meliuk lincah. Ayahku di sana. Dua orang menikamnya dari belakang. Patung kuda permata jatuh dari meja, bergulir di lantai, bernoda darah.
Patung itu.
Milikku.
Gelap.
Ketika aku terbangun keesokan harinya, kuda permata telah lenyap, namun kalung itu masih menggantung manis di leherku. Rasanya hangat, tidak dingin seperti kemarin. Aku berpakaian dan segera keluar.
Dari jauh kulihat iring-iringan Tetua Achlag telah hendak berangkat. Naymad muncul membawa kuda permata, menempatkannya dalam kereta barang yang paling depan. Jantungku berdegup hebat. Kalung kumala di leherku memanas seperti habis dipanggang api. Kudekap manik segitiga. Telapakku memerah karena panas. Dalam batu pipih itu corak merah dan hitam meliuk serta berpendar seolah hidup. Panasnya merasuk hingga ke sumsum, membuat darahku seakan mendidih.
Aku hendak melonjak. Ingin kuambil kuda permataku dari tangan pencuri. Karena akulah Sang Tetua Tertinggi sejati, putra ayahku, pemimpin delapan belas kaum Padang Rumput.
Aku ingin.
Tapi aku hanya gembala upahan hina. Apa yang dapat kulakukan?
Seketika kalung kumala kembali dingin. Hanya bercak-bercak kemerahan yang tinggal menodai kulit. Manik utamanya berubah kelam. Tidak ada lagi api. Tidak ada lagi kekuatan.
Hari itu aku kembali menjadi gembala biasa.
Kugiring ternak tuanku ke padang rumput di tepi sungai. Kudaki bukit kecil berpuncak datar untuk berbaring menikmati hari, mengawasi pucuk-pucuk pohon yang pongah, atau menebak-nebak wujud angin. Aku berguling ke kanan, dan ke kiri. Di seberang sungai kulihat kereta kuda berderet seperti kotak-kotak kecil. Di depan, sang pemimpin mengendarai kudanya dalam kehormatan dan kebanggaan. Itu Tuanku Tetua Achlag. Dan yang dalam kereta barang di belakangnya, tentulah kuda permata kesayanganku.
Tubuhku memanas. Kalung kumala membakar leher serta dadaku. Aku dapat melompat menyeberangi sungai, meski lebarnya lebih dari delapan puluh tubuh kuda. Aku mampu berlari melintasi padang ribuan langkah jauhnya.
Aku bisa.
Aku dapat.
Namun di tepi sungai aku berlutut berhenti. Gairahku menggelora, tapi hatiku ragu.
“Apa yang kau tunggu, Teuar?” Suara itu lagi.
Aku menoleh. Ia ada di sampingku, membungkuk badan, menjenguk ke dalam air.
“Kuda permata itu lambang kekuasaan ayahmu. Kekuasaan Sang Tetua Tertinggi,” katanya.
“Tapi aku telah bersumpah sebagai hamba Tuanku Achlag seumur hidupku.”
“Kau bersumpah padanya, bukan pada patung kuda permata. Achlag bekerja pada orang yang membunuh ayahmu dan ibumu, pada orang yang telah menjadikanmu gembala upahan hina. Tidakkah kau ingin menunjukkan baktimu, Teuar?” Tangannya di bahuku.
Aku merasa kulit leherku mengelupas, tetapi dalam tulang-tulangku timbul kekuatan. Api memancar dari kalung kumala, merasuk ke dalam sumsum, menguatkan otot-ototku dan pancainderaku. Aku Teuar, Sang Tetua Tertinggi.
“Kau akan kuberi kekuatan.” Ia berbisik lagi.
Aku bangkit. Saat menoleh ke kiri, dia sudah tak ada. Namun ketika berpaling ke depan, kereta kuda permata masih diam di tempatnya.
Milikku.
Sejurus kemudian kudapati diriku memacu kuda menyusuri sungai. Kuhentikan kudaku di antara ilalang tinggi, di mana aliran air melengkung halus ke arah Barat. Dari sana aku menyeberang tanpa suara menuju perkemahan orang-orang Tetua Achlag. Aku segera berpakaian. Tabung bambu kecil kusiapkan sebagai sumpitan bersama jarum-jarum berekor rumbai merah sebagai anak sumpitnya. Untuk satu dua tujuan rahasia, jarum sumpitan bekerja lebih baik dari anak panah. Ia cepat dan tak terlihat, dan racun pada ujungnya lebih mematikan dari bisa ular.
Ketika aku tiba seratus langkah kuda jauhnya dari kereta-kereta Achlag, kulihat mereka telah mendirikan tenda bundar besar tempat berisitirahat Sang Tetua. Batu-batu kelabu serta rerumputan tinggi menyembunyikan tubuhku dari mata dua gembala Achlag yang kebetulan melintas. Mereka berjalan tanpa rasa cemas, membicarakan kemegahan tenda-tenda Sang Tetua Tertinggi yang berselimut rumbai-rumbai emas. Tiba-tiba yang seorang membelalak, tercekat, dan jatuh. Yang lain terkejut, namun sekejap kemudian ia juga terkapar di tanah. Jarum sumpitku mengigit tepat di leher. Aku melangkahi tubuh orang-orang mati, mendekat seperti wujud angin maut. Delapan orang lagi menjadi korban sumpitanku, dan orang-orang Achlag mulai diserang takut.
Di mana-mana terdengar pekik Penyusup! Penyusup!, namun tak seorang pun melihat rupaku. Aku menyelinap di antara kereta. Kuacuhkan anjing-anjing yang menggonggong. Kereta kedua dari depan, itulah sasaranku. Tepat ketika aku mencapai bagian belakang kereta, seekor anjing melompat menerkam. Aku berkelit. Taring hewan itu merenggut selimut kulit yang membungkus kereta, mencabiknya hingga terkoyak, dan dengan kebodohannya menjatuhkan manik-manik batu serta patung kuda permata.
Kusambar kuda permataku.
Aku berguling, berlari secepat mungkin ke tepi sungai. Tapi Naymad telah berada di belakangku. Dia menyumpah, melepaskan anak panahnya. Dan meleset. Sekejap aku dihujani ratusan panah, namun tak satu pun berhasil menyentuhku. Aku berkelit, meliuk, berputar-putar – api kalung kumala membuatku bagai wujud angin.
Satu lompatan panjang dan tubuhku masuk ke dalam sungai. Saat mengangkat kepala keluar dari air, kulihat Naymad menarik kekang kudanya di tepi sungai. Ia benar mencurigaiku, dan aku membencinya karena itu. Kusumpit dia. Jarumku menancap tepat di bawah dagunya. Ia roboh tanpa sempat memekik. Kudanya meringkik ketakutan. Orang-orang berteriak riuh. Aku menyelam, dan tidak mendengar apa-apa lagi.
Tatkala keluar dari air di lengkung sungai tempat kudaku berada, aku basah dan menggigil. Patung kuda permata kumasukkan dalam bajuku. Aku tertawa. Kunaiki kudaku sebagai seorang pemenang. Namun dari jauh kulihat kepulan debu di seberang sungai. Kaum Kuda Merah Achlag telah memutar arah. Mereka menuju tempat tinggalku, perkemahan Tuanku Tetua Sana.
Apa yang telah kulakukan?
Hatiku meronta-ronta, memaksaku mengejar orang-orang Achlag dengan kudaku. Ribuan langkah kuikuti mereka, tapi tak sekali pun berani mendekat. Dari jauh kudengar tempik peperangan. Segera kuputar kudaku, mendaki setapak sempit yang berkelok-kelok ke puncak bukit bertebing curam.
Di kanan, batang air sempit menggelegak berbuih ribut, mengalir menuruni tanah curam hingga menghilang di balik perbukitan batu. Di depan, di bawah bukit, padang hijau membentang berhias tenda-tenda bundar Tuanku Sana.
Aku melihat orang membunuh dan dibunuh. Tenda-tenda dihantam dan dirusak. Kawanan ternak lari tunggang-langgang. Dan darah menggenang di mana-mana.
“Apa yang telah kau lakukan?” Itu dia.
Aku berbalik. “Kau penipu licik!”
“Penipu? Aku hanya mengatakan apa yang benar, Teuar. Tapi kau? Pembunuh.”
Kuraih dadaku, hendak merenggut kalung kumala pemberiannya. Namun aku terkejut, karena  kalung itu telah tertanam dalam kulitku. Manik-maniknya menyembul keluar seperti sisik ikan melingkari leher. Dan di tengah dada timbul batu pipih segitiga sepanas api, mengembang mengempis seperti jantung.
Aku memekik. Kusambar kepalanya, tapi ia menahan tanganku. Kurasakan genggamannya dingin. Ia membantingku ke tanah. Aku menendang perutnya, namun ditariknya aku hingga jatuh. Diriku terlempar mencium rumput. Langit bumi berputar-putar, dan terbalik, dan aku berada di dalam air.
Dan gelap.
Aku melihat ibuku.
Ayahku.
Tenda-tendaku
Kematian.
Darah.
Kuda permata.
Aku melonjak sadar terbatuk-batuk. Dia-yang-adalah-aku berdiri di hadapanku. Senyum jahat menghiasi bibirnya. Kami terdampar di tengah ngarai curam sempit. Sungai menderum berisik di balik punggungku, dan di belakang punggungnya dinding batu berdiri menentang angkasa.
“Apa yang kau lakukan Teuar?”
Aku menerjang. Ia melompat mundur.
“Kau tidak bisa menangkapku, Teuar. Tapi jika kau ingin mencariku, kutunggu kau di Pelataran Merah. Di mana terlihat yang tidak terlihat.” Sambil berkata demikian ia berbalik, berjalan menuju dinding batu dan menghilang di baliknya – seakan-akan tebing itu tirai kain satin.
Aku ternganga. Dinding ngarai kuketuk tiga kali dan kudapati sungguh terbuat dari batu. Aku mencabut pedang lengkungku. Empat kali kuayunkan, tapi matanya hanya menghantam tebing.
Tidak terjadi apa-apa.
Manik kumala di dadaku berdegup hebat. Perutku mual. Mataku serasa terbakar.
Aku ingin mati.
Aku ingin mati.
Tahu-tahu kudapati diriku berlari menerjang dinding tebing. Aku memejam mata menjemput maut. Namun di saat seharusnya tubuhku merasakan sakitnya benturan, yang kurasakan hanya dingin, seperti menyelam ke dalam air.
Ketika membuka mata, aku  telah berada di tengah kegelapan. Kubiarkan kakiku membawa tubuhku berjalan. Entah ke arah mana, aku tidak tahu. Karena di sini tidak ada cahaya – tidak cahaya matahari, tidak juga bulan atau bintang.
 Selagi terus melangkah, kulihat jauh di samping kananku, satu sosok berlari gagah menunggang kuda. Baik dirinya maupun kudanya berpendar dalam gelap, seolah-olah terdiri dari kumpulan cahaya. Tatkala sosok itu makin mendekat, aku mengenalinya sebagai Tetua Achlag. Ia mengenakan jubah kebesarannya yang berhias benang emas. Di tangan kirinya tergenggam busur lengkung, dan di tangan kanannya seuntai kalung. Kalung kumala – seperti milikku. Sesaat aku terpesona, tetapi dia segera menghilang.
Kemudian aku berjumpa Tuanku Tetua Sana, dan Naymad, dan Sarda, dan orang-orang lain yang pernah kulihat dalam hidupku – masing-masing menggenggam kalung kumala yang sama. Namun tidak ada aku.
Di mana dia?
Maka aku terus melangkah menyusur kegelapan. Hingga kulihat lagi berkas sang surya, di pelataran batu terbuka, merah seperti cadas. Di sana berdiri sebuah singgasana, dan di atasnya duduklah dia-yang-adalah-aku.
Arak susu tumpuan kakinya
Bulu burung api mahkota kepalanya
Tangannya menggenggam piala
Penuh emas serta permata
Mulutnya menyesap
Namun tak pernah puas
Aku tahu siapa dirinya.
Ia tersenyum.
Dan serta-merta hilanglah segala singgasana, piala kumala, juga emas serta permata. Tinggallah kami berdua di pelataran kosong.
Kutatap matanya.
“Kau adalah aku,” kataku. “Kebodohanku. Ketamakanku. Keangkuhanku.”
Kuambil kuda permata dari balik bajuku. “Sekarang, pergi!”
Kulempar kuda permata ke kakinya. Patung itu menghantam lantai merah lalu pecah berkeping-keping. Dia bergetar bagai tertiup angin, meliuk-liuk seperti kepulan asap.
“Keluar! Aku mengusirmu dari Pelataran Merah!”
Ia tertawa, dan citranya memudar.
“Pergi, dan jangan kembali lagi!”
Lenyap.
Itu adalah kali terakhir aku melihat dirinya.
Kuharap.


Kini aku, Teuar Sang Tetua Tertinggi, tengah duduk dalam tendaku ketika tiga kali pintuku diketuk. Kuren, tangan kananku mengabarkan datangnya taklukkan. Aku bangkit, berdiri di muka pintu. Pada kiri dan kananku berbaris orang-orangku, dengan senjata lengkap dan berdiri rapi. Sedang di mukaku, datang mendekat seorang tua, yang bahunya bungkuk hingga ujung kepala. Melihat wajahku ia menjatuhkan diri. Lalu mendekat beringsut-ingsut sambil berlutut. Di kakiku ia bersujud, dan menangis.
“Hamba yang terhina dari yang hina. Empat puluh dua tahun yang lalu hamba menghasut para gembala membunuh Sang Tetua Tertinggi yang terhormat dan mulia. Kini hamba datang menyerahkan diri, untuk hukuman mati yang setimpal dengan perbuatan hamba.”
Ada rasa getir dalam dadaku. Namun aku berlutut, menopang bahunya dan mengangkatnya berdiri.
“Manusia bukan makhluk tanpa cela,” kataku. “Masing-masing orang pernah bersalah. Maka aku akan mengampuni engkau. Karena aku pun pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu.”
Ia memandang mataku tak percaya.
Aku tersenyum. “Biarlah masa lalu tinggal di belakang. Kini mengabdilah padaku dengan setia, dan engkau akan berbahagia di sisa hidupmu.”
Orang tua itu memelukku tanpa berkata apa-apa lagi. Ia membanjiri bahuku dengan air mata.
Jika aku melihat ke belakang, betapa bodohnya diriku. Demi membalas dendam aku merusak hubungan tuan dan hamba. Demi kekuasaan aku membunuh sanak saudaraku sendiri.
Sekarang aku telah menjadi Tetua Tertinggi yang sejati. Baik emas maupun permata dan wanita tidak pernah mendatangkan cela bagi kelakukanku. Di masa yang akan datang anak-anak akan menceritakan kisahku. Cerita tentang Teuar, si pembunuh yang berubah menjadi orang suci.
Aku kembali ke tendaku. Kubuka pintunya yang penuh ukiran emas serta kayu wangi, dan aku meremang. Di kursi kebesaranku, di samping Meja Jaya, dia duduk bersandar dengan nyaman. Tersenyum.
Aku menutup pintu. “Mengapa kau kembali? Aku sudah mengusirmu dari Pelataran Merah!”
“Mengusirku? Tidak. Tidak, Teuar-ku yang baik hati.” Ia bangkit dan mendekat. “Kau tidak pernah mengusirku. Malahan aku harus berterima kasih karena kau memberiku arak ternikmat dari yang nikmat.”
Diunjukkannya piala yang di tangan kanannya padaku. Bukan piala kumala yang dipegangnya kali ini, namun batu pahatan kasar. Dan di dalamnya terdapat segenap surat pujian yang disampaikan kawan-lawanku kepadaku. Aku terperangah. Kulihat ia menghirup pialanya. Tetapi berapa pun ia meneguk, kertas dalam piala tidak berkurang barang sedikit.
“Terima kasih Teuar-ku yang suci. Apakah kau ingin kubuatkan patung permata dirimu untuk menggantikan kuda di Meja Jaya-mu?” Ia menyipitkan mata.
Kurasakan dadaku berdenyut kencang. Bukan di jantung, tetapi di sana. Jemariku meraih dada. Kudapati sisik-sisik kecil dalam kulitku yang luput dari kesadaranku selama puluhan tahun. Tepat di tengah-tengah, ada satu sisik serupa segitiga samasisi. Wujudnya sebagai batu kumala tidak terlihat lagi, karena ia telah menjadi satu dalam darah dan daging. Berdenyut, dan membara.
 “Kau milikku, Teuar.”
Diam!
“Milikku.”
Milikku.



Bayang-bayang Teuar


Aku berada di tengah Pelataran Merah, dan orang yang pertama kali kutemui adalah aku. Dalam remang fajar yang baru menjelang, kami tampak begitu serupa. Bola matanya berkilau hijau daun muda – aku juga. Hidungku melengkung seperti paruh burung – dia juga. Tetapi ketika sang surya merangkak naik di balik punggungku, dan bayanganku merayap panjang hingga mencapai ujung sepatunya, kudapati bahwa di belakang tubuhnya tidak ada bayangan. Dia aku, namun bukan aku.


Ada satu malam pada bulan kedua musim gugur ketika usiaku mencapai tiga belas tahun. Sebagai gembala upahan aku bersujud mengantar susu asam serta keju dalam tenda besar beralas permadani. Mataku begitu dekat dengan tanah, hingga hanya dua pasang kaki  yang kulihat sedang duduk bersila di balik meja. Yang satu mengenakan sepatu hitam bersulam wujud angin dari benang emas. Ini adalah Tetua Achlag, sahabat Tuanku Tetua Sana. Sedang yang duduk di sebelahnya, mengenakan sepatu cokelat berumbai biasa tanpa benang emas, ialah Naymad, putranya.
“Hamba Teuar yang bekerja pada Tetua Sana mengantarkan susu asam dan keju untuk Tuanku berdua.” Aku memberi salam tanpa mengangkat wajah.
“Teuar!” Tetua Achlag tertawa. “Aku kenal namamu. Sana memujikanmu berkali-kali padaku.” Bukan sekali aku mendengar perkataan seperti ini.
“Hamba hanya gembala upahan tidak berguna, mana berani menerima pujian Tuanku.”
“Kalau begitu aku harus memujimu dua kali. Kemarilah dan angkatlah kepalamu.”
Maka kuangkat kepalaku, dan yang pertama menarik mataku adalah kilauan patung batu permata.
Jernih halus rupanya
Seekor kuda menantang angkasa
Dalam ribu-ribu permainan warna
Permata tua dari tahun yang telah lama
Tidak asing patung itu bagi mataku. Aku terpukau oleh kecantikannya. Jika satu yang demikian ada di dalam tendaku, apakah artinya puluhan kereta emas murni Oshtogar? Sebab bukan dari permata biasa ia dibuat. Kilaunya tujuh warna, menari-nari seperti permainan cahaya dalam pinggan ajaib.
Oh, betapa terpesona aku dalam pelangimu.
Hijau dan biru, dan merah.
Dan putih.
Aku membelalak. Dari pintu kerlip kilat menerobos masuk, memantulkan bayanganku pada dinding di belakang Tetua Achlag. Di sana seorang pria berdiri. Pakaiannya kemeja biru muda dengan kerah bersilang dan topi yang tepinya menjuntai hingga menutup dagu – seperti aku. Tangan kanannya memegang belati telanjang, sedang yang kiri diletakkan pada bahu Tetua Achlag. Aku melonjak. Tetua menoleh, bukan ke arahku tetapi orang itu.
Penyusup!
Kucabut belati. Namun tubuhku terangkat dan melayang, dan tahu-tahu aku sudah tertelungkup mencium permadani.
“Penyusup!” sergah Naymad. Aku tahu sepatunya telah berada di atas tengkukku.
“Lepaskan, anakku.”
Tanpa sadar kuarahkan pandangan ke atas. Aku melihat dia yang menyelamatkan nyawaku. Tetua Achlag dalam jubah hitam kebesarannya, rautnya kokoh seperti karang, seorang pria yang gagah perkasa. Tetapi di balik punggungnya, tidak ada orang.
Di mana penyusup itu?
Guntur menyahut. Bulu kudukku meremang. Secepat kilat muncul dan lenyap, secepat itulah ia datang dan pergi.
Apa itu?
“Dia gembala hina yang mencoba menghabisi nyawa Tuanku,” suara Naymad bicara. Sejurus kemudian aku mendengar delapan orang Tetua Achlag merangsek masuk karena mendengar teriakan sang tuan muda.
Aku tidak bersalah. Tetapi sebagai seorang anak yang baru beranjak dewasa, hatiku dilanda ketakutan. Segera aku bersujud membenturkan dahi ke tanah.
“Hamba gembala hina. Hamba pantas mati.” Tenggorokanku tercekat. “Hamba mengira seorang penyusup muncul tepat di balik punggung Tuanku dan hendak membunuh Tuanku dengan belati. Namun mata hamba tertipu oleh permainan kilat dan guntur.”
“Kau berbohong,” sahut Naymad tajam. “Tak mungkin seorang penyusup dapat masuk kemari dan bersembunyi di balik Tuanku Achlag tanpa sepengetahuan kami.”
Aku bersumpah.
Namun Tetua Achlag telah mendahuluiku bicara. “Aku tidak akan menyalahkanmu dalam hal ini, Teuar. Karena aku tahu kau melakukannya untuk melindungiku dari – penyusup.” Kata terakhirnya mengambang di udara – ia memandang bahu kirinya. “Bukankah itu tindakan orang terhormat?”
“Hamba gembala hina. Tetapi jika Tuanku berkenan, hamba, Teuar, bersedia mengabdi kepada Tuanku seumur hidup.” Lagi, kutundukkan kepalaku.
 “Kau sudah mengabdi pada Sana, mana bisa mengabdi padaku juga.” Tetua Achlag berhenti sejenak. “Tetapi kuterima niat baikmu. Jika suatu saat aku membutuhkan bantuanmu, biarlah kau kupanggil dan datanglah untuk membalas budi.”
 “Terima kasih Tuan.” Kubenturkan kepalaku ke permadani sebagai tanda hormat. Kemudian setengah malu, setengah gemetar, aku keluar cepat-cepat. Nampan berisi susu asam dan keju masih tergeletak di atas permadani, dan belatiku tidak jauh darinya. Tapi keduanya tidak menjadi soal selama kepalaku masih melekat pada tubuhku.
Angin berhembus dingin. Namun pada karpet langit yang hitam pekat, titik-titik bintang bersinar tanpa ragu. Aku merapatkan kemejaku, melangkah buru-buru dengan tangan terlipat di dada. Mengingat kejadian di tenda, jantungku berdebar. Jika tidak ada awan maupun hujan, mengapa guntur dapat mengaum?
Baru saja kulihat ujung tenda kecilku di kejauhan, sesuatu menepuk bahuku. Aku tersentak.
“Mengapa kau masih ada di sini?” tanya sebuah suara.
Aku menoleh dan mendapati dia adalah Sarda, pelayan anak gadis Tuanku Sana.
“Baru saja kulihat kau mengambil air dari tong lalu masuk ke dalam kemahmu,” katanya.
“Aku hanya mencari angin.”
Segera aku melengos, berlari secepat mungkin menuju tenda. Saat kubuka pintu kulit kemahku, kulihat dia duduk di balik meja, menatap aku. Dan di atas meja berdiri gagah patung kuda permata.
Pencuri!
Kututup pintu di belakang punggungku. Kabar apa yang akan tersiar jika seorang penyusup mencuri dari Tetua Achlag?
“Siapa kau?” Aku merendahkan suara. “Apa yang kau lakukan di tendaku?”
“Aku Penuntunmu,” kata suaraku – tapi bukan dari bibirku.
Pendar cahaya kuda permata menjadi lampu tenda. Di seberangnya kulihat wajahku. Bukan wajahku sendiri, namun dia-yang-adalah-aku.
Kulitnya cokelat seperti aku, rambutnya merah seperti aku, bibirnya tipis seperti aku. Aku dan aku.
Apakah kamu?
Tetapi sebelum aku bersuara, ia lebih dahulu mengangkat tangan kanannya. “Duduklah, Teuar,” katanya.  “Aku datang dari Pelataran Merah untuk membimbingmu.”
“Apa yang kau bicarakan?” Namun tubuhku mendekat juga ke meja dan duduk di hadapannya.
“Kau melupakan siapa dirimu, Teuar.”
Diraihnya tanganku. Hangat. Ia memutari meja, mendekapku dari belakang. Aku merasakan nafasnya pada pipiku. Lembut, dan nyaman. Ingin kubenamkan diriku dalam pelukannya, lalu terbang ke alam mimpi.
Tapi, “Lihat,” katanya. “Aku bisa memberimu kekuatan.”
Ia mengalungkan sesuatu pada leherku. Untaian manik-manik, dingin seperti batu kumala. Tepat di tengah, tergantung manik yang paling besar. Segitiga samasisi, kemerah-merahan seperti kobaran api.
“Patung permata memanggilmu,” katanya lagi. Diangkatnya jemari melewati bahuku, menunjuk lurus kepada patung kuda permata.
Oh, sempurnanya wahai kuda permata. Surainya yang mengembang anggun. Otot-ototnya yang liat perkasa. Warna demi warna memenuhi mataku, dan telingaku, dan diriku.
Aku melihat rerumputan muda, baru menghijau di bawah matahari musim semi. Di atasnya berdiri tenda bundar, berselimut kulit celupan ungu dengan rumbai-rumbai tiga lapis bersepuh emas. Di muka pintunya seorang lelaki berdiri. Jubahnya biru tua, topinya berhias rangkaian bulu burung api, mencuat seperti surai wujud angin. Dialah Sang Tetua Tertinggi. Ayah.
Tiba-tiba warna-warna bergoyang bagai kain dihembus angin. Kelabu bercampur merah. Hijau bercampur biru. Aku melihat wajah ibuku. Hitam menari. Mereka datang dengan golok dan panah. Wajahnya garang seperti harimau putih dari Oshtogar. Ungu melonjak. Ibuku memekik. Merah menguar. Darah. Di permadani, di tepi meja, di dinding tenda. Di ambang pintu. Emas meliuk lincah. Ayahku di sana. Dua orang menikamnya dari belakang. Patung kuda permata jatuh dari meja, bergulir di lantai, bernoda darah.
Patung itu.
Milikku.
Gelap.
Ketika aku terbangun keesokan harinya, kuda permata telah lenyap, namun kalung itu masih menggantung manis di leherku. Rasanya hangat, tidak dingin seperti kemarin. Aku berpakaian dan segera keluar.
Dari jauh kulihat iring-iringan Tetua Achlag telah hendak berangkat. Naymad muncul membawa kuda permata, menempatkannya dalam kereta barang yang paling depan. Jantungku berdegup hebat. Kalung kumala di leherku memanas seperti habis dipanggang api. Kudekap manik segitiga. Telapakku memerah karena panas. Dalam batu pipih itu corak merah dan hitam meliuk serta berpendar seolah hidup. Panasnya merasuk hingga ke sumsum, membuat darahku seakan mendidih.
Aku hendak melonjak. Ingin kuambil kuda permataku dari tangan pencuri. Karena akulah Sang Tetua Tertinggi sejati, putra ayahku, pemimpin delapan belas kaum Padang Rumput.
Aku ingin.
Tapi aku hanya gembala upahan hina. Apa yang dapat kulakukan?
Seketika kalung kumala kembali dingin. Hanya bercak-bercak kemerahan yang tinggal menodai kulit. Manik utamanya berubah kelam. Tidak ada lagi api. Tidak ada lagi kekuatan.
Hari itu aku kembali menjadi gembala biasa.
Kugiring ternak tuanku ke padang rumput di tepi sungai. Kudaki bukit kecil berpuncak datar untuk berbaring menikmati hari, mengawasi pucuk-pucuk pohon yang pongah, atau menebak-nebak wujud angin. Aku berguling ke kanan, dan ke kiri. Di seberang sungai kulihat kereta kuda berderet seperti kotak-kotak kecil. Di depan, sang pemimpin mengendarai kudanya dalam kehormatan dan kebanggaan. Itu Tuanku Tetua Achlag. Dan yang dalam kereta barang di belakangnya, tentulah kuda permata kesayanganku.
Tubuhku memanas. Kalung kumala membakar leher serta dadaku. Aku dapat melompat menyeberangi sungai, meski lebarnya lebih dari delapan puluh tubuh kuda. Aku mampu berlari melintasi padang ribuan langkah jauhnya.
Aku bisa.
Aku dapat.
Namun di tepi sungai aku berlutut berhenti. Gairahku menggelora, tapi hatiku ragu.
“Apa yang kau tunggu, Teuar?” Suara itu lagi.
Aku menoleh. Ia ada di sampingku, membungkuk badan, menjenguk ke dalam air.
“Kuda permata itu lambang kekuasaan ayahmu. Kekuasaan Sang Tetua Tertinggi,” katanya.
“Tapi aku telah bersumpah sebagai hamba Tuanku Achlag seumur hidupku.”
“Kau bersumpah padanya, bukan pada patung kuda permata. Achlag bekerja pada orang yang membunuh ayahmu dan ibumu, pada orang yang telah menjadikanmu gembala upahan hina. Tidakkah kau ingin menunjukkan baktimu, Teuar?” Tangannya di bahuku.
Aku merasa kulit leherku mengelupas, tetapi dalam tulang-tulangku timbul kekuatan. Api memancar dari kalung kumala, merasuk ke dalam sumsum, menguatkan otot-ototku dan pancainderaku. Aku Teuar, Sang Tetua Tertinggi.
“Kau akan kuberi kekuatan.” Ia berbisik lagi.
Aku bangkit. Saat menoleh ke kiri, dia sudah tak ada. Namun ketika berpaling ke depan, kereta kuda permata masih diam di tempatnya.
Milikku.
Sejurus kemudian kudapati diriku memacu kuda menyusuri sungai. Kuhentikan kudaku di antara ilalang tinggi, di mana aliran air melengkung halus ke arah Barat. Dari sana aku menyeberang tanpa suara menuju perkemahan orang-orang Tetua Achlag. Aku segera berpakaian. Tabung bambu kecil kusiapkan sebagai sumpitan bersama jarum-jarum berekor rumbai merah sebagai anak sumpitnya. Untuk satu dua tujuan rahasia, jarum sumpitan bekerja lebih baik dari anak panah. Ia cepat dan tak terlihat, dan racun pada ujungnya lebih mematikan dari bisa ular.
Ketika aku tiba seratus langkah kuda jauhnya dari kereta-kereta Achlag, kulihat mereka telah mendirikan tenda bundar besar tempat berisitirahat Sang Tetua. Batu-batu kelabu serta rerumputan tinggi menyembunyikan tubuhku dari mata dua gembala Achlag yang kebetulan melintas. Mereka berjalan tanpa rasa cemas, membicarakan kemegahan tenda-tenda Sang Tetua Tertinggi yang berselimut rumbai-rumbai emas. Tiba-tiba yang seorang membelalak, tercekat, dan jatuh. Yang lain terkejut, namun sekejap kemudian ia juga terkapar di tanah. Jarum sumpitku mengigit tepat di leher. Aku melangkahi tubuh orang-orang mati, mendekat seperti wujud angin maut. Delapan orang lagi menjadi korban sumpitanku, dan orang-orang Achlag mulai diserang takut.
Di mana-mana terdengar pekik Penyusup! Penyusup!, namun tak seorang pun melihat rupaku. Aku menyelinap di antara kereta. Kuacuhkan anjing-anjing yang menggonggong. Kereta kedua dari depan, itulah sasaranku. Tepat ketika aku mencapai bagian belakang kereta, seekor anjing melompat menerkam. Aku berkelit. Taring hewan itu merenggut selimut kulit yang membungkus kereta, mencabiknya hingga terkoyak, dan dengan kebodohannya menjatuhkan manik-manik batu serta patung kuda permata.
Kusambar kuda permataku.
Aku berguling, berlari secepat mungkin ke tepi sungai. Tapi Naymad telah berada di belakangku. Dia menyumpah, melepaskan anak panahnya. Dan meleset. Sekejap aku dihujani ratusan panah, namun tak satu pun berhasil menyentuhku. Aku berkelit, meliuk, berputar-putar – api kalung kumala membuatku bagai wujud angin.
Satu lompatan panjang dan tubuhku masuk ke dalam sungai. Saat mengangkat kepala keluar dari air, kulihat Naymad menarik kekang kudanya di tepi sungai. Ia benar mencurigaiku, dan aku membencinya karena itu. Kusumpit dia. Jarumku menancap tepat di bawah dagunya. Ia roboh tanpa sempat memekik. Kudanya meringkik ketakutan. Orang-orang berteriak riuh. Aku menyelam, dan tidak mendengar apa-apa lagi.
Tatkala keluar dari air di lengkung sungai tempat kudaku berada, aku basah dan menggigil. Patung kuda permata kumasukkan dalam bajuku. Aku tertawa. Kunaiki kudaku sebagai seorang pemenang. Namun dari jauh kulihat kepulan debu di seberang sungai. Kaum Kuda Merah Achlag telah memutar arah. Mereka menuju tempat tinggalku, perkemahan Tuanku Tetua Sana.
Apa yang telah kulakukan?
Hatiku meronta-ronta, memaksaku mengejar orang-orang Achlag dengan kudaku. Ribuan langkah kuikuti mereka, tapi tak sekali pun berani mendekat. Dari jauh kudengar tempik peperangan. Segera kuputar kudaku, mendaki setapak sempit yang berkelok-kelok ke puncak bukit bertebing curam.
Di kanan, batang air sempit menggelegak berbuih ribut, mengalir menuruni tanah curam hingga menghilang di balik perbukitan batu. Di depan, di bawah bukit, padang hijau membentang berhias tenda-tenda bundar Tuanku Sana.
Aku melihat orang membunuh dan dibunuh. Tenda-tenda dihantam dan dirusak. Kawanan ternak lari tunggang-langgang. Dan darah menggenang di mana-mana.
“Apa yang telah kau lakukan?” Itu dia.
Aku berbalik. “Kau penipu licik!”
“Penipu? Aku hanya mengatakan apa yang benar, Teuar. Tapi kau? Pembunuh.”
Kuraih dadaku, hendak merenggut kalung kumala pemberiannya. Namun aku terkejut, karena  kalung itu telah tertanam dalam kulitku. Manik-maniknya menyembul keluar seperti sisik ikan melingkari leher. Dan di tengah dada timbul batu pipih segitiga sepanas api, mengembang mengempis seperti jantung.
Aku memekik. Kusambar kepalanya, tapi ia menahan tanganku. Kurasakan genggamannya dingin. Ia membantingku ke tanah. Aku menendang perutnya, namun ditariknya aku hingga jatuh. Diriku terlempar mencium rumput. Langit bumi berputar-putar, dan terbalik, dan aku berada di dalam air.
Dan gelap.
Aku melihat ibuku.
Ayahku.
Tenda-tendaku
Kematian.
Darah.
Kuda permata.
Aku melonjak sadar terbatuk-batuk. Dia-yang-adalah-aku berdiri di hadapanku. Senyum jahat menghiasi bibirnya. Kami terdampar di tengah ngarai curam sempit. Sungai menderum berisik di balik punggungku, dan di belakang punggungnya dinding batu berdiri menentang angkasa.
“Apa yang kau lakukan Teuar?”
Aku menerjang. Ia melompat mundur.
“Kau tidak bisa menangkapku, Teuar. Tapi jika kau ingin mencariku, kutunggu kau di Pelataran Merah. Di mana terlihat yang tidak terlihat.” Sambil berkata demikian ia berbalik, berjalan menuju dinding batu dan menghilang di baliknya – seakan-akan tebing itu tirai kain satin.
Aku ternganga. Dinding ngarai kuketuk tiga kali dan kudapati sungguh terbuat dari batu. Aku mencabut pedang lengkungku. Empat kali kuayunkan, tapi matanya hanya menghantam tebing.
Tidak terjadi apa-apa.
Manik kumala di dadaku berdegup hebat. Perutku mual. Mataku serasa terbakar.
Aku ingin mati.
Aku ingin mati.
Tahu-tahu kudapati diriku berlari menerjang dinding tebing. Aku memejam mata menjemput maut. Namun di saat seharusnya tubuhku merasakan sakitnya benturan, yang kurasakan hanya dingin, seperti menyelam ke dalam air.
Ketika membuka mata, aku  telah berada di tengah kegelapan. Kubiarkan kakiku membawa tubuhku berjalan. Entah ke arah mana, aku tidak tahu. Karena di sini tidak ada cahaya – tidak cahaya matahari, tidak juga bulan atau bintang.
 Selagi terus melangkah, kulihat jauh di samping kananku, satu sosok berlari gagah menunggang kuda. Baik dirinya maupun kudanya berpendar dalam gelap, seolah-olah terdiri dari kumpulan cahaya. Tatkala sosok itu makin mendekat, aku mengenalinya sebagai Tetua Achlag. Ia mengenakan jubah kebesarannya yang berhias benang emas. Di tangan kirinya tergenggam busur lengkung, dan di tangan kanannya seuntai kalung. Kalung kumala – seperti milikku. Sesaat aku terpesona, tetapi dia segera menghilang.
Kemudian aku berjumpa Tuanku Tetua Sana, dan Naymad, dan Sarda, dan orang-orang lain yang pernah kulihat dalam hidupku – masing-masing menggenggam kalung kumala yang sama. Namun tidak ada aku.
Di mana dia?
Maka aku terus melangkah menyusur kegelapan. Hingga kulihat lagi berkas sang surya, di pelataran batu terbuka, merah seperti cadas. Di sana berdiri sebuah singgasana, dan di atasnya duduklah dia-yang-adalah-aku.
Arak susu tumpuan kakinya
Bulu burung api mahkota kepalanya
Tangannya menggenggam piala
Penuh emas serta permata
Mulutnya menyesap
Namun tak pernah puas
Aku tahu siapa dirinya.
Ia tersenyum.
Dan serta-merta hilanglah segala singgasana, piala kumala, juga emas serta permata. Tinggallah kami berdua di pelataran kosong.
Kutatap matanya.
“Kau adalah aku,” kataku. “Kebodohanku. Ketamakanku. Keangkuhanku.”
Kuambil kuda permata dari balik bajuku. “Sekarang, pergi!”
Kulempar kuda permata ke kakinya. Patung itu menghantam lantai merah lalu pecah berkeping-keping. Dia bergetar bagai tertiup angin, meliuk-liuk seperti kepulan asap.
“Keluar! Aku mengusirmu dari Pelataran Merah!”
Ia tertawa, dan citranya memudar.
“Pergi, dan jangan kembali lagi!”
Lenyap.
Itu adalah kali terakhir aku melihat dirinya.
Kuharap.


Kini aku, Teuar Sang Tetua Tertinggi, tengah duduk dalam tendaku ketika tiga kali pintuku diketuk. Kuren, tangan kananku mengabarkan datangnya taklukkan. Aku bangkit, berdiri di muka pintu. Pada kiri dan kananku berbaris orang-orangku, dengan senjata lengkap dan berdiri rapi. Sedang di mukaku, datang mendekat seorang tua, yang bahunya bungkuk hingga ujung kepala. Melihat wajahku ia menjatuhkan diri. Lalu mendekat beringsut-ingsut sambil berlutut. Di kakiku ia bersujud, dan menangis.
“Hamba yang terhina dari yang hina. Empat puluh dua tahun yang lalu hamba menghasut para gembala membunuh Sang Tetua Tertinggi yang terhormat dan mulia. Kini hamba datang menyerahkan diri, untuk hukuman mati yang setimpal dengan perbuatan hamba.”
Ada rasa getir dalam dadaku. Namun aku berlutut, menopang bahunya dan mengangkatnya berdiri.
“Manusia bukan makhluk tanpa cela,” kataku. “Masing-masing orang pernah bersalah. Maka aku akan mengampuni engkau. Karena aku pun pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu.”
Ia memandang mataku tak percaya.
Aku tersenyum. “Biarlah masa lalu tinggal di belakang. Kini mengabdilah padaku dengan setia, dan engkau akan berbahagia di sisa hidupmu.”
Orang tua itu memelukku tanpa berkata apa-apa lagi. Ia membanjiri bahuku dengan air mata.
Jika aku melihat ke belakang, betapa bodohnya diriku. Demi membalas dendam aku merusak hubungan tuan dan hamba. Demi kekuasaan aku membunuh sanak saudaraku sendiri.
Sekarang aku telah menjadi Tetua Tertinggi yang sejati. Baik emas maupun permata dan wanita tidak pernah mendatangkan cela bagi kelakukanku. Di masa yang akan datang anak-anak akan menceritakan kisahku. Cerita tentang Teuar, si pembunuh yang berubah menjadi orang suci.
Aku kembali ke tendaku. Kubuka pintunya yang penuh ukiran emas serta kayu wangi, dan aku meremang. Di kursi kebesaranku, di samping Meja Jaya, dia duduk bersandar dengan nyaman. Tersenyum.
Aku menutup pintu. “Mengapa kau kembali? Aku sudah mengusirmu dari Pelataran Merah!”
“Mengusirku? Tidak. Tidak, Teuar-ku yang baik hati.” Ia bangkit dan mendekat. “Kau tidak pernah mengusirku. Malahan aku harus berterima kasih karena kau memberiku arak ternikmat dari yang nikmat.”
Diunjukkannya piala yang di tangan kanannya padaku. Bukan piala kumala yang dipegangnya kali ini, namun batu pahatan kasar. Dan di dalamnya terdapat segenap surat pujian yang disampaikan kawan-lawanku kepadaku. Aku terperangah. Kulihat ia menghirup pialanya. Tetapi berapa pun ia meneguk, kertas dalam piala tidak berkurang barang sedikit.
“Terima kasih Teuar-ku yang suci. Apakah kau ingin kubuatkan patung permata dirimu untuk menggantikan kuda di Meja Jaya-mu?” Ia menyipitkan mata.
Kurasakan dadaku berdenyut kencang. Bukan di jantung, tetapi di sana. Jemariku meraih dada. Kudapati sisik-sisik kecil dalam kulitku yang luput dari kesadaranku selama puluhan tahun. Tepat di tengah-tengah, ada satu sisik serupa segitiga samasisi. Wujudnya sebagai batu kumala tidak terlihat lagi, karena ia telah menjadi satu dalam darah dan daging. Berdenyut, dan membara.
 “Kau milikku, Teuar.”
Diam!
“Milikku.”
Milikku.