Senin, 29 November 2010

Suatu Hari


 "Bidak selalu berjalan ke depan."

Aku menurunkan koran yang sejak tadi kuangkat tinggi menutupi wajah. Huruf-huruf tebal hitam memenuhi headline, tepat di bawah foto seorang pria muda yang sedang menyeret jenazah ayahnya. “Endemi,” demikian bunyi tulisan itu. Kulihat punggung si pemuda, yang terekam kamera mengenakan kaos biru tipis, membungkuk dalam-dalam. Barangkali itu membantunya memperoleh tenaga lebih untuk menarik tubuh ayahnya. Tetapi pikiran lain menggelitik benakku. Mungkin pemuda itu membawa jenazah sang ayah ke pemakaman, atau ke pekuburan massal, atau hanya ke pinggiran kota. Kemudian, apa yang akan terjadi padanya? Apa ia mampu menegakkan punggungnya lagi, atau tidak? Aku tak pernah tahu. Koran terlalu malas memuat kelanjutan ceritanya. Hari ini fotonya terpampang seperempat halaman depan, namun besok bahkan namanya pun tak muncul-muncul lagi.

Aku mengalihkan mataku ke kiri. Paras jelita seorang gadis muda menyapaku di sana. Ia tidak hidup, sebab ia pun hanya sebuah foto. Tapi kamera mampu menangkap setiap detail kecantikannya. Rambutnya yang pirang bergelombang sampai ke bahu dibiarkan tergerai lepas. Kedua pipinya merona merah seperti apel. Ia memakai lipstick maron hingga bibirnya tampak lebih menggoda. Di usia yang telah berkepala tujuh saat ini, aku masih dapat mengenali kecantikan wanita. Alangkah bahagianya kekasih gadis itu, yang berdiri di sampingnya dengan tuxedo hitam mengkilat, menggenggam tangan sayangnya dengan lembut sembari menemaninya berjalan melewati deretan kilat lampu blitz. Di bawahnya, “Pasangan Abad Ini” tertulis rapi sebagai judul. Sedikit gamang ketika diriku melihat, huruf terakhir kalimat tersebut hanya dipisahkan ruang kosong setengah senti dengan foto berita utama.

Kontras. Koran membuat seluruh dunia menjadi begitu dekat. Sekaligus membuat kontras menjadi semakin jelas. Di sini sepasang kekasih bergembira, di sana seorang pemuda menanggung beban keluarga. Aku tersipu sendiri.

Walaupun tujuh puluh satu tahun bukan waktu yang singkat, kenangan itu tak pernah hilang dari ingatanku. Roda-roda kereta berputar perlahan melintasi rel yang membelah kota. Kami – aku dan kedua saudaraku – berlari-lari mengejar sambil melambaikan tangan. Masih jelas dalam benakku, saat itu aku mengenakan celana pendek hitam dan beret cokelat. Dari jendela kereta yang terbuka, kakak sulungku di antara ratusan pemuda membalas lambaian kami. Ia tampak bersemangat, namun tidak tersenyum. Kereta hitam melolong panjang lalu melaju cepat meninggalkan stasiun. Aku dan saudara-saudaraku mengejarnya sampai kami tak kuat lagi berlari. Kemudian sosok ular logam menghilang di kaki langit. Saat itu kami tersenyum, kami tertawa, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dua puluh satu tahun kemudian, akulah yang harus menaiki kereta. Bukan kereta yang sama, tentu saja, tetapi menuju tempat yang sama. Saat itu kulihat keponakan-keponakanku berlari-lari melambaikan tangan, persis seperti diriku dulu. Mereka bermata cerah dan tersenyum lebar. Tapi aku? Aku membalas lambaian mereka. Kupaksakan untuk tersenyum namun tidak bisa. Perutku mual, jantungku berdebar-debar. Aku tahu ke mana aku pergi. Bukan ke tempat pesta, tapi ke ladang maut. Jika bukan karena aturan wajib militer, aku tak akan pernah mau pergi ke sana.

Aku pernah merasakan kontras yang serupa. Di dalam kereta ratusan pemuda pergi mengadu nyawa, di luar kereta anak-anak bersorak kegirangan. Mereka tak tahu apa-apa. Sama seperti si pemuda dalam foto, atau mungkin sang bintang besar dan kekasihnya. Mereka tidak tahu, atau tidak mau tahu. Koran menampilkannya dengan jelas. Kehancuran, kerusakan, kekacauan, wabah, namun hidup akan terus berjalan.

Kututup koranku. Dengung kereta menggema ketika memasuki terowongan panjang. Aku memejamkan mata. Kembali terngiang di telingaku kata-kata ayahku tatkala dulu – lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, kami duduk berdua di teras rumah. Kursi kecil berdiri di antara kami, menopang papan kayu sederhana berpetak enam puluh empat dengan enam belas patung kecil di atasnya. Tangan kasar ayahku mengangkat sebuah patung berkepala bundar polos. Itu bidak, katanya.

“Ia tidak bisa mundur, apapun yang terjadi.”

Aku terpukau pada penjelasan ayahku. Ia mengatakannya seolah-olah dirinya seorang ahli. Suaranya dalam dan berat, begitu berwibawa. Tatapan matanya yang tajam serius ketika mengamati papan sambil menimbang-nimbang.

“Ia juga hanya bisa berjalan dalam satu garis lurus,” kata ayah lagi.

“Lalu apa yang terjadi kalau di depannya ada halangan?” tanyaku.

“Ia akan berhenti.”

Aku membiarkan diriku diam dalam kesunyian. Kurasakan kereta terus melaju dalam jalurnya yang tetap. Ia membelok dalam sebuah lengkung besar, lalu mulai melambat. Aku membuka mata. Hamparan rumput hijau mengintip dari jendela di sampingku. Di kejauhan bukit-bukit tampak bertumpuk-tumpukan. Kusibakkan tirai hijau yang tertutup separuh. Bangunan kecil berbentuk persegi panjang ada di depan. Atapnya melengkung ke atas ditopang oleh tiang baja mengkilap. Kereta akan berhenti di sana, sebuah stasiun kecil di bukit-bukit desaku yang tenang.

Tak lama, kurasakan rem kereta mulai ditarik. Gerbong-gerbong logam memperlambat larinya. Deretan tiang-tiang beton seperti berlari mendekat di sisi kiri. Aku tetap duduk menunggu. Kuperhatikan tidak ada satu pun yang berniat untuk berdiri. Semua penumpang tetap diam di kursinya masing-masing. Barangkali hanya aku yang mengakhiri perjalanan di sini. Kereta berhenti mulus sempurna. Pintu-pintu terbuka. Aku bangkit berdiri dengan koran tergulung di tangan kanan. Langkahku kupercepat melewati deretan penumpang yang acuh tak acuh meunju pintu otomatis gerbong yang sudah hendak menutup.

Hujanlah yang menyambutku di peron. Begitu kedua kakiku menjejak bumi, kereta menderu pergi, sedang tetes-tetes air merintik turun dari langit. Aku menghela nafas. Yang paling menyenangkan di perbukitan ini adalah udaranya. Sejuk dan lembut menyegarkan. Memang benar, walaupun manusia membangun lebih banyak lagi pencakar langit dan menciptakan lebih banyak lagi mobil, suatu saat ia akan kembali ke alamnya. Dari sinilah manusia lahir, dan ke sinilah ia akan berakhir. Kata orang, aku seorang naturalis. Bisa jadi. Tapi diriku tak pernah peduli. Hanya yang kuyakinilah yang kupegang teguh, tidak masalah apa pun namanya.

Stasiun kecil ini sudah banyak berubah. Catnya sudah berganti warna, dahulu biru muda kini cokelat susu. Anak-anak tangga logam masih mengkilap, tetapi ubin di bawahnya beberapa retak. Suara dentang-dentang terdengar ketika kakiku menuruni tangga. Satu hal yang tidak berubah di sini ialah kesunyiannya. Hanya aku, satu-satunya penumpang yang turun di sini.

Namun kesendirianku yang mula-mula sedikit lenyap ketika diriku sampai di pintu utama. Kulihat sosok pria muda duduk tertunduk di pojokan. Paling-paling, usianya baru tiga puluhan. Tapi rambut putih sudah menghiasi setengah kepalanya. Aku menatap mata hitamnya yang kosong dan selalu menerawang langit-langit, entah mengharapkan apa. Di depannya kaleng susu yang tinggal separuh tergeletak begitu saja. Saat mendekat, tampaklah keping-keping logam bertumpukan di dalamnya. Mungkin ia ingin uang. Jadi kurogoh saku belakang celanaku. Hanya satu sen yang kutemukan di sana. Kuangkat keping itu tinggi-tinggi, kulambaikan perlahan tepat di depan wajahnya. Tidak ada reaksi. Matanya tetap nanar dan kosong.

Aku tahu batinnya terganggu. Pada pergelangan tangan kirinya melingkar jam emas bermerk. Tapi kilaunya sudah kusam, nyaris tak ada bedanya dibanding jam murahan yang biasa dijual di pasar loak. Kecuali tentu satu, huruf-huruf balok yang terukir indah di bawah jarum-jarumnya “ROLEX”. Orang muda ini, dahulu bukanlah orang miskin. Kuperhatikan jas yang membungkus tubuhnya. Rupanya dekil karena tak pernah dicuci, namun jahitannya kelihatan rapi berkelas. Barangkali beberapa waktu yang lalu, kemeja putih di balik jasnya pernah terkancing rapi – bukan terbuka dua seperti saat ini, dan seuntai dasi menggantung manis di lehernya. Ada sepucuk kertas kekuningan yang mencuat dari saku jasnya. Aku mengamati pola kolomnya yang rapi, berikut sebaris tanggal di samping kanan yang menuliskan suatu hari dua tahun yang lalu. Itu sobekan koran lama. Halaman ekonomi rupanya, sebab sebuah grafik pergerakan saham tertera jelas di kolom paling kiri.

Aku berdiri termangu. Orang yang duduk di hadapanku, dua tahun lalu mungkin seorang pengusaha sukses. Namun krisis global memporakporandakan usahanya. Ia galau, bingung, dan depresi. Sekarang orang-orang bisa menyebutnya gila. Tapi aku enggan. Kulepaskan satu senku ke kaleng susu si pemuda malang. Lalu cepat-cepat aku berbalik meninggalkannya. Orang muda itu tidak gila, ia hanya tidak bisa melangkah. Ia hanya berhenti.

Rintik-rintik air tidak mampu menahan langkahku menyusuri jalan desa yang berkelok-kelok. Namun tatkala hujan menderas, diriku tak punya pilihan lain selain berhenti untuk berteduh. Kupilih tempat di bawah bayangan pohon besar. Aliran air merembes masuk, tapi jauh lebih baik dibanding tinggal di tengah jalan. Punggungku menyandar nyaman pada batang lembab yang kasar. Cahaya matahari memberkas sedikit-sedikit di balik awan. Hujan ini tak akan lama, semoga saja. Aku tidak ingin langkahku berhenti terlalu lama.

Kualihkan pandanganku ke tanah. Lumpur-lumpur mulai naik tersapu air meninggalkan jejak-jejak becek tidak rata. Lalu mataku mengerjap cepat. Sekonyong-konyong rasanya aku melihat darah. Gelap kemerahan, tercampur di antara lumpur cokelat yang mengambang. Ah, tidak. Hanya khayalanku saja. Aku memang pernah melihatnya, tetapi bukan sekarang.

Kejadian itu sudah lama sekali. Langit mencurahkan airnya dengan deras seperti saat ini. Lumpur kuning jalan mengambang naik. Di antaranya bercampur tetes-tetesan darah, merah gelap dan merah segar. Yang memilikinya tergeletak tak bergerak. Darah segar mengotori jari-jarinya yang terjulur, juga seragam hitamnya yang panjang selutut. Sedang yang menempel pada laras panjangnya berwarna lebih gelap. Warna yang sama menempel pada ujung bootku. Tubuhku bergetar ujung ke ujung. Aku tidak berani melihat matanya. Aku mual dan muntah. Senapanku jatuh ke tanah. Hari itu semua menyebutku banci pecundang. Meskipun pesta diadakan karena kemenangan kami yang mutlak, aku tak dapat menikmatinya. Ketika kecil pendeta mengajar aku dan saudara-saudaraku hukum-hukum Tuhan. Jangan membunuh, itu dosa. Tapi aku telah menjadi seorang pembunuh.

“Apa tak ada cara untuk melepaskan diri, Ayah?” Diriku yang masih kecil melotot mengamati pion-pion di papan catur. Bidakku bertemu muka dengan bidak ayah. Keduanya diam tak bergerak seperti kata ayah, mereka berhenti.

“Tentu saja ada.” Ayah tersenyum tenang. Ia memungut bidaknya, menggesernya satu petak di kanan atas, tempat di mana bidakku yang lain berdiri tegak. Dengan sekali sentuhan telunjuk, ia menjatuhkan bidak putih milikku. Sebagai gantinya, ia menempatkan bidak hitamnya. “Begitulah caranya bidak keluar dari halangan-halangannya. Sekarang ia bisa berjalan lurus ke depan sampai batas akhir.”

Ketika kecil, aku hanya begitu bersemangat bermain. Kupungut bidakku, kumakan bidak ayah agar dapat terus berjalan. Di depan petak-petak membentang sampai ujung papan. Di sanalah perjalanan sang bidak akan berakhir.

“Ke manakah ia setelah sampai di akhir?” tanyaku. Tapi ayah hanya tersenyum.

Kini hujan benar-benar berhenti. Awan-awan tipis memudar dari langit sementara matahari menguatkan cahayanya. Aku kembali ke jalan. Jalur sempit berbelok-belok ini membawaku mendaki bukit landai. Walaupun usiaku cukup senja, aku masih kuat menempuh perjalanan jauh – dari stasiun kecil sampai ke rumahku di tepi desa.

Dari jauh kulihat atap merah bata yang tidak asing menantang pucuk-pucuk pohon. Di belakangnya, ujung runcing atap putih gereja kecil menyembul di tengah-tengah lereng. Selain rumahku, bangunan itulah yang paling megah seantero desa. Sisanya lebih banyak rumah-rumah kayu sederhana berlantai satu dengan pekarangan subur yang luas.

Aku berjalan cepat melewati tapak-tapak batu mungil di halaman depan. Pintu kayu lebar dan pendek telah menanti di hadapanku. Aku membukanya, lalu berjalan masuk. Satu dua hal kudapatkan berbeda dalam rumahku sendiri. Setiap kursi telah dilapisi kain putih tipis berpita hijau muda. Lemari kaca dibersihkan hingga bayanganku dapat memantul sempurna di balik bingkai-bingkai foto. Semua tirai telah diganti kain baru yang lebih tebal dan halus.

Namun yang menarik perhatianku, ialah buket bunga di atas meja makan. Pita hijau lemon membuatnya tampak semakin manis, sedang wanginya memenuhi seluruh rumah. Saat kuangkat, selembar kertas melayang jatuh ke lantai – mungkin tadinya diselipkan di antara pita hijau lemon. Aku mengambil lembaran itu. Sebaris kalimat tertulis dengan tinta emas di sana, “Selamat Ulang Tahun.” Aku terpana. Aku lupa hari ulang tahunku. Aku tak pernah menganggapnya penting. Tapi selagi diriku memikirkan semua hal ini, nada-nada ceria muncul dari setiap pintu kamar yang mengelilingi ruang makan.

Pintu-pintu terbuka sebelum aku sempat bergerak. Empat orang wanita muda – anak-anakku, bersama suami dan anak-anak mereka membawa kue putih bertingkat tiga sambil melantunkan lagu ulang tahun. Lilin di atasnya berwujud angka tujuh puluh tujuh berwarna putih gading. Apinya menari-nari lembut, ke kanan dan kiri. Aku merasa ujung bibirku tertarik. Aku tersenyum.

Anak-anak perempuanku meletakkan kue dengan hati-hati di atas meja. Semua bertepuk tangan dan menyanyi, walaupun aku diam saja. Kemudian mereka memintaku meniup lilin. Aku menghembus. Satu tiupan saja nyala api yang tadi bergoyang-goyang tiba-tiba padam. Tepuk tangan terdengar makin nyaring diiringi sorak girang. Pada saat itu aku mendengar dentang lonceng gereja. Dan kurasakan pipiku basah oleh air mata.

Kudengar cucu gadisku yang masih kecil berbisik di telinga ibunya, “Mengapa kakek menangis?”

“Itu air mata bahagia,” jawab anakku. Barangkali karena aku masih tersenyum, meski air mata telah mengalir.

Tapi tidak. Yang kurasakan bukan benar-benar kebahagiaan. Aku menyesal. Walau bibirku tetap tersenyum tipis dan wajahku tak memperlihatkan raut kesedihan, namun hatiku takluk dalam penyesalan. Lonceng gereja berbunyi lagi, memanggil orang-orang yang setia untuk datang beribadah. Selama ini diriku pura-pura tuli dengan suaranya. Tetapi sekarang, tiap dentangnya memperlihatkan padaku ujung jalan.

“Kalau bidak ini sampai di ujung,” kata ayah sambil memutar-mutar kepala bidaknya dengan dua jari. Aku ingat saat itu kujulurkan kepala sedekat mungkin dengan papan agar dapat melihat lebih jelas. “Ia akan dihargai,” lanjut ayah, “Ia dapat ditukar.”

Aku terpesona pada bidak di tangan ayahku. Tak pernah terpikirkan dalam benak kecilku saat itu, bahwa pion lemah itu berhak mendapatkan sebuah penghargaan. “Dengan apa?” tanyaku bersemangat.

“Kuda, benteng, atau menteri yang telah mati. Atau ia dapat tetap menjadi bidak. Ia bisa menjadi apa saja.” Senyum ayah mengembang lebar. Begitu pula aku, dahulu.

Kini kutatap kembali ujung jalanku. Jika aku sampai ke sana, dengan apa aku akan dihargai? Atau seperti apa? Jalanku tinggal sedikit lagi.

Minggu, 28 November 2010

Duduk Diam dan Mendengarkan

Satu hal yang senang kulakukan sejak kecil adalah duduk diam dan mendengarkan. Tentu tidak harus benar-benar diam, atau benar-benar duduk, tapi jelas tetap mendengar. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan aku menguping. Ya, menguping pembicaraan orang tua. Karena mereka tak akan membiarkan bocah ingusan sepertiku ikut campur dalam urusan orang dewasa. "Bukan urusan anak-anak," kata mereka selalu.

Tetapi aku pun punya cara sendiri untuk mendengar. Aku bisa saja terlihat tidur di jok belakang mobil sementara bapak-bapak dan ibu-ibu asyik berceloteh soal bisnis di bangku depan. Kadang-kadang aku sibuk menggambar di kertas ketika guruku bicara dengan murid-murid lain. Bagaimana pun aku tetap mendengar.

Dari sana aku mulai memilah-milah para "pembicara" favorit. Aku melihat bahwa kita dapat mempelajari apa pun asal mendengarkan orang yang tepat. Ketika aku ingin tahu soal kehidupan, kudengarkan orang-orang tua bicara. Mereka akan membagi setumpuk pengalaman hidup dan kebijaksanaan. Mereka memberi pandangan yang jauh mengenai masa depan, masalah ini itu, yang seringnya tidak dimiliki orang-orang muda.

Ketika aku ingin mendengar soal bisnis, kudengarkan para pebisnis bicara. Mereka bicara banyak hal soal peluang, analisa, saham, untung rugi, dan lain-lain, yang aku sendiri sulit mengerti. Tapi toh, di antara begitu banyak hal yang diomongkan, paling tidak satu dua dapat kutangkap. Beberapa juga mencerahkan pikiran atau memberikan ide-ide baru.

Begitu juga seterusya. Kalau aku ingin mengetahui soal binatang, aku menguping pembicaraan para pecinta binatang. Kalau aku mau tahu berita politik terbaru, aku menguping pembicaraan tukang gorengan depan rumah (yang sepertinya lebih banyak terlibat praktis daripada guru-guru di sekolah dulu). Kalau aku mau belajar cara menyelesaikan masalah, kudengarkan ibu-ibu bergosip. Mereka memberi banyak hal soal hubungan antar manusia, walaupun memang biasanya dilebih-lebihkan supaya seru. Lagipula, jika aku bersikap sok bodoh dengan bertanya ini itu atau malah sok tahu dengan mengajak debat, banyak orang terpancing bicara lebih banyak. Entah dengan maksud tulus atau membangga-banggakan pengetahuan mereka.

Menyenangkan bukan? Dengan hanya duduk diam dan mendengarkan, kita bisa mendapatkan banyak hal. Tidak perlu uang sekolah, tidak perlu uang buku, bahkan tidak perlu waktu khusus. Cukup duduk diam dan mendengarkan.

Sabtu, 27 November 2010

Berpikir Ria

Sebenarnya sudah lama aku mau buat blog, tapi nggak tahu mau nulis apa. Jadi sekarang, kuputuskan melakukan kebiasaan aneh para manusia. Menyusahkan diri.

Memang aneh, makhluk yang katanya berotak cerdas dan berakhlak mulia macam kita ini senang menyusahkan diri. Tapi nyatanya, bisa jadi manusialah makhluk yang paling hobby menyiksa diri. Lihat saja, mana ada gajah yang sibuk memikirkan kenapa rumput yang dimakannya berwarna hijau, atau kenapa hidungnya super mancung melambai-lambai dan bukannya pesek seperti hidung babi. Atau kapan kita melihat anjing herder bertanya-tanya kenapa ia nggak mirip dengan "sepupunya" si buldog, atau "tetangganya" si pudel.

Tapi manusia?

Kita sibuk mempertanyakan segala sesuatu. Manusia bukan kucing yang diam-diam saja waktu makan ikan. Kita senang bertanya kenapa ikan punya sirip dan kita nggak, kenapa ikan berenangnya di air sedangkan kucing berjalan di darat. Kita penasaran kenapa buah apel jatuh ke bawah tapi pohon apel tumbuh ke atas. Kita heran kenapa langit berwarna biru waktu siang dan hitam waktu malam. Kita memikirkan segala sesuatu.

Kalau ditanya, memang apa manfaatnya? Kayaknya sih, nggak ada juga. Baiklah, barangkali gara-gara kebanyakan mikir, kita bisa bikin pesawat terbang atau komputer. Kita mampu menciptakan padi tahan hama atau kloning domba. Masalahnya, seberapa penting semua ciptaaan itu untuk hidup manusia? Dengan sok yakin aku bilang, "Nggak penting."

Buktinya kambing bisa tetap hidup enak (oke lah bisa kena macam-macam penyakit, tapi manusia kan penyakitnya lebih banyak) tanpa mikirin gimana cara bikin rumput tahan hama. Rajawali bisa terbang tinggi dan cepat tanpa sibuk ngitung aerodinamika. Kura-kura malah berumur panjang tanpa sibuk mencari obat awet muda.

Jadi mungkin saja, penemuan-penemuan "jenius" kita memang nggak terlalu penting. Toh, semakin banyak penemuan yang dibuat manusia, semakin pendeklah umur kita di bumi. Coba tengok, makin lama penyakit manusia makin banyak. Dulu yang kena stroke cuma orang-orang uzur, sekarang remaja belasan tahun pun nggak luput. Kanker yang dulu kayaknya penyakit "wah banget" sekarang sudah mewabah di mana-mana.

Kita menemukan komputer dan internet yang memudahkan komunikasi seluruh dunia, tapi juga melumpuhkan komunikasi antar manusia. Bukankah dewasa ini banyak orang yang lebih senang berchatting ria di internet (whew, saya banget tuh) daripada ngobrol-ngobrol sama keluarga sendiri? Malahan teman internet bisa segitu dekatnya sampai melarikan anak gadis orang. Makin jenius orang, makin kacaulah dunia.

Nah, kalau begitu kenapa manusia tetap terus berpikir? Itu dia yang jawabannya susah. Barangkali sudah kodratnya. Kayak kata Descartes, "Aku berpikir maka aku ada." Quote yang aneh menurut otak dudud-ku ini, hehehe. Gimana caranya orang bisa berpikir kalau dia nggak ada, ya? Kita harus ada dulu baru bisa berpikir, menurutku. Tapi bisa saja aku yang salah menerjemahkan urutannya. Berpikir maka ada. Ada maka berpikir. Atau malah, berpikir adalah ada? Hehehe. Ah, sudahlah. Itu nggak penting. Yang jelas selama manusia ada, ia akan terus berpikir. Selama ia terus berpikir, maka ia masih ada (muter-muter terus).

Karena itu tentu normal-normal saja kalau aku punya hobby menyusahkan diri. Juga sah-sah saja kalau aku nyampah hasil "penyiksaan" itu di sini. Wajar-wajar saja kalau yang baca ini menganggapku bocah ingusan ngelamak yang sok tahu. Dan boleh-boleh saja kalau aku tetap ngeyel meneruskan nyampahku di sini (ditabok).

Selamat datang di dunia sampah!