Senin, 31 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -4)


Sketrrer melompati gerigi batu kecil yang mencuat pada lantai terowongan utama Hamer yang tidak rata. Ia berhenti bermain-main dengan angannya, kembali menatap kenyataan. Apa yang sudah berlalu tidak dapat diulang lagi. Perintah baginya untuk mencari dua puluh Kunci sudah diberikan. Tak bisa ditarik lagi. Ia juga tidak dapat mundur, kecuali hendak menanggung malu karena pulang ke Perguruan dengan tangan hampa. Jadi yang dapat dilakukannya sekarang hanya terus berjalan. Menyelesaikan tugas-tak-masuk-akal ini secepat mungkin.

Akan tetapi barangkali Sketrrer memang tidak mujur. Ia terperangkap kebaikan hatinya sendiri untuk memeriksa tanda asap. Hasilnya kini dirinya terjebak di desa Hamer yang terpencil, lebih dari seratus mil melenceng dari arah yang ingin ditempuhnya ke Timur Laut. Selain itu orang-orang di sini juga tampak kurang beradab. Mereka tidak paham apa-apa soal Terzien. Apalagi Kunci-kunci – mustahil.

Bukti ketidakberadaban orang-orang Preyar dapat dilihat dari tempat ini. Terowongan dipahat sekenanya saja pada bukit batu. Jalanan tidak rata, dinding kasar bergerigi, atap berlubang penuh lumut, serta bilik-bilik yang bersegi banyak tanpa kursi atau dipan sama sekali. Tanpa penyerangan para Terzien sekalipun, sulit membayangkan gua ini lebih baik dibanding saluran air bawah tanah Perguruan Kanatron.

“Aku masih tidak mengerti,” kata Sketrrer akhirnya. Ia mengernyit melihat jamur ikut tumbuh pada bingkai jendela yang terkena matahari dari sebuah bilik kecil di sebelah kiri lorong. Gerumbul payung putih-cokelat lebar-lebar itu tentu terlalu kecil untuk dilihat Selan yang berjalan tiga langkah di depan, namun mata Sketrrer jauh lebih tajam dari kebanyakan orang.

“Mengapa mereka membangun rumah di dalam gua seperti orang purba? Masih banyak tempat lain yang lebih baik untuk membuat rumah dibanding gua pengap macam ini,” lanjutnya.

“Kalau kau sedikit memperhatikan ilmu budaya dasar dulu, kau pasti tahu semua orang Preyar membuat rumahnya di dalam gua,” Selan menyahut cepat.

“Orang-orang di Utara sana juga?” Sketrrer mengangkat kedua alisnya. Ia kerap mendengar kabar bahwa orang Ehuor memiliki kota terindah di padang Preyar. Tetapi bayangan itu segera lenyap, berganti gua batu berlubang-lubang mirip penjara.

“Ya, tentu saja.” Ada rasa tidak suka dalam suara Selan. Pria gempal setengah baya yang agak pendek itu mempercepat langkah. “Tapi jangan bayangkan kota mereka seperti gua Hamer ini. Kotanya bertingkat delapan, dindingnya dipahat halus, tiangnya berukir rumit. Jauh lebih bagus daripada bangunan-bangunan Skoy kalian.”

“Oh, ya?” gumam Sketrrer sambil mengedikkan bahu. Ia tahu selama ratusan tahun kebudayaan Skoy telah menunjukkan keagungannya, yang paling beradab di antara bangsa-bangsa. Jadi nada sumbang dalam kalimat atasannya tadi pasti disebabkan iri hati – Selan berasal dari negeri bangsa Elesi yang terkucil di balik Gurun Besar Jingga.

Setelah itu keduanya berjalan dalam diam hingga gerbang utama yang lebar dan rendah menampakkan diri di ujung lorong. Sinar matahari berhasil mengalahkan tirai asap, menerobos masuk hingga membuat mulut gerbang berkilau putih. Saat berhenti di ambang gerbang, Sketrrer mengerjap beberapa kali. Kembalinya cahaya membuatnya tidak nyaman untuk sesaat. Namun begitu membuka mata, ia mendapati warna-warna telah kembali.

Lantai batu di bawah kakinya berwarna kelabu gelap. Tapi hanya selangkah di depannya tanah berubah cokelat. Rerumputan serta semak-semak terbakar hangus meninggalkan jejak kehitaman. Lebih gelap di sekitar gua, tetapi berubah kecokelatan pasir ketika mendekati pagar batu yang mengelilingi desa. Di luar pagar setinggi leher tersebut rumput Preyar menghijau muda, menyelimuti lereng sampai ke kaki langit. Sementara di atasnya cakrawala menggantung putih. Sobekan  awan hitam tercerai di sana-sini, tanda sisa-sisa asap.

Saat menatap pagar batu seratus meter di hadapannya, Sketrrer mendapati semacam ironi. Pagar tersebut melindungi seluruh padang dari kobaran api yang menggila, namun mengurung semua orang yang berlindung di dalam bukit batu Hamer. Seperti tikus yang mati dalam sarangnya sendiri. Malahan sepertinya hewan ternaklah yang bernasib lebih baik. Dari antara ratusan mayat yang bergelimpangan di sekitar lembah, sebagian besar ialah jenazah manusia. Mungkin binatang-binatang itu lari lebih cepat saat Terzien datang. Selan mengaku bersilang jalan dengan sekelompok kuda yang lari pontang-panting ke arah padang.

Tetapi mengesampingkan seluruh kemalangan tersebut, sebenarnya Hamer masih diliputi keberuntungan. Terzien menyerang saat musim semi baru dimulai sehingga rumput-rumput cukup basah untuk menahan api. Andaikan ini terjadi pada musim panas, baik Sketrrer atau Selan, maupun para Terzien sendiri, akan sulit menghentikan amukan api.

 “Tidakkah kau merasa serangan ini aneh?” tanya Selan setelah lama sunyi. “Terzien tidak biasanya menghancurkan satu desa.”

 “Mereka mencari sesuatu, kata orang. Semacam rampasan perang atau semacamnya,” jawab Sketrrer, masih memperhatikan pagar batu di kejauhan.

“Aku tidak yakin mereka mau menghancurkan sebuah desa hanya untuk mencari barang itu.”

 “Menurutmu mengapa mereka melakukannya?” Sketrrer balik bertanya. Dari sudut mata ia melihat Selan berdiri selengan di sebelah kirinya. “Kelihatannya barang itu cuma bungkusnya saja. Mereka mungkin punya dendam pribadi, mau membungkam seseorang, memamerkan kekuatan – Kudengar Terzien berusaha mencari sekutu dari Ehuor.”

“Aku tidak tahu apa alasan pastinya. Tapi mestinya kita punya petunjuk.”

“Apa itu?” Kali ini Sketrrer berpaling pada Selan. Atasannya itu harus mendongak sedikit ketika mereka bertemu pandang karena tubuh Sketrrer yang jangkung.

“Seorang Terzien,” jawab Selan sembari menyipitkan mata. “Dua belas atau tiga belas tahun. Laki-laki. Dia tahu tentang hal ini dan semestinya tahu lebih banyak lagi.”

“Dan di mana dia?”

“Dia hilang.” Selan mengangkat bahu.

“Apa?” Serta-merta mata Sketrrer membelalak lebar. “Bagaimana kau bisa melepaskan petunjuk seperti itu?”

“Aku sudah menghentikannya dengan Nopheus Kirgazs. Dia tidak akan bisa lagi memakai kekuatannya.”

“Nah, kenapa tidak sekalian saja kau bunuh dia?”

“Jarakku terlalu jauh waktu itu. Tapi dapat kupastikan dia aman.”

“Dia bisa kembali ke Teritorial Terzien dan meminta bantuan di sana!” geram Sketrrer kesal. Ia memalingkan wajah sambil mendecap-decap. Mengapa atasannya dapat bersikap seceroboh itu?

Namun Selan hanya berkata datar, “Terzien tidak akan menerimanya tanpa kekuatannya. Kalau kembali ke sana dia sama saja mati. Ini keuntungan kita. Selama ini penjara kita hampir selalu kosong. Terzien terlalu lihai membebaskan diri sehingga kita lebih sering langsung membunuh mereka. Kalaupun ada yang tertangkap, semuanya Terzien kelas rendahan yang tidak tahu apa-apa soal rencana atasan mereka selain mengenyangkan perut mereka sendiri. Kita butuh keterangan, itulah yang tidak kita dapatkan selama ini.”

“Jadi apa yang kau harapkan dari Terzien itu?” Sketrrer memicingkan mata. Seorang bocah Terzien yang tertangkap tampaknya tidak lebih baik daripada empat tahanan yang sudah mulai berlumut di penjara Perguruan.

“Keterangan, tentu saja,” ujar Af Larl-nya. “Orang yang datang kemari sekitar dua puluh orang. Itu berarti pemimpin mereka sekurangnya seorang Herkhan.”

“Hanya orang gila yang mengangkat bocah dua belas tahun menjadi Herkhan,” dengus Sketrrer sambil berkacak pinggang. Kemudian dipalingkanya wajah memandang tanah. Dirinya sendiri, yang dianggap banyak orang sangat berbakat, baru menjadi Herkhan di usia tujuh belas – dua tahun setelah upacara kedewasaannya.

“Mereka Terzien. Bukan Kanatron. Kalau mereka mau mengangkat bayi menjadi Herkhan itu urusan mereka. Yang jelas aku mendengar sendiri orang-orang memanggilnya Herkhan.”

“Jadi apa yang kau inginkan?” Sekali lagi Sketrrer berpaling pada atasannya. “Kau mau aku mencarinya di padang Preyar ini? Tidak bisa. Aku masih punya tugas konyol itu.”

“Aku hanya berkata: kalau kau bertemu dengannya, jangan lepaskan!” Selan mengucapkan kata terakhirnya lambat-lambat, lalu melanjutkan, “Kita bisa memberinya penawaran dan ia akan jadi keuntungan bagi Perguruan.”

Sejenak ketika atasannya berhenti bicara, Sketrrer mengaku dalam hati bahwa ia lebih senang mencari si bocah Terzien. Tetapi pemuda itu tidak berkata apa-apa. Ia berdiri diam menatap langit, sampai Af Larl-nya memulai pembicaraan lagi.

“Tugasmu itu, bagaimana kabarnya?” tanya Selan dengan suara rendah.

“Empat puluh hari tanpa hasil. Si tua Guru Besar itu pasti sudah mulai gila,” jawab Sketrrer. Ketika melirik ke kiri sebentar, ia melihat pria berambut keeemasan di sebelahnya itu ikut memandang langit.

“Kau pasti dihukum kalau ucapanmu tadi sampai ke telinganya. Tidak peduli kau putra Kezser atau bukan.”

“Silakan saja. Aku malah ingin cepat pulang dan mencabut alis ubanannya itu. Aku masih tidak mengerti mengapa dia harus mengutusku. Dan Canmi?”

“Keras kepala dan sulit diatur seperti biasanya.”

“Kalau begitu kau juga ikut bersekongkol dengan si tua. Ini gila. Aku bisa mengerti kalau rencananya masuk akal. Tapi dia menyuruhku mencari dongeng omong kosong.”

“Jadi mengapa kau tidak menerima saja tantangan Guru Besar waktu itu? Kau sendiri juga tidak yakin dengan hasil pemikiranmu, bukan?”

Sketrrer tak perlu menoleh untuk merasakan tatapan Selan menghujam samping kepalanya. Pemuda itu menggertak gigi. Otot-otot jarinya berkedut, lalu menegang. Mendadak ia menendang tanah, menghamburkan debu cokelat ke udara. Namun tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Akhirnya Selan berkata, “Aku harus pergi sekarang. Ada kabar dari Celah Irid yang harus segera kusampaikan ke Perguruan. Kalau bukan karena asap dan semua kejadian ini, pasti aku sudah berjalan cukup jauh sekarang. Katakan pada orang-orang desa, aku akan meminta bantuan raja-raja kota Skoy untuk mereka. Tapi lebih baik lagi jika mereka sendiri berusaha mencari bantuan dari desa tetangga. Nah, selamat tinggal, Sketrrer.”

Af Larl berjubah merah itu menimbulkan bunyi tumbuk halus saat melompat ke tanah hangus. Ia sudah hendak berlari pergi, tapi “Tunggu!”, seruan Sketrrer menghentikan langkahnya.

Sketrrer memandang Selan yang berhenti tiga langkah dari ambang gua. Setengah suara, ia berkata pada atasannya, “Tentang itu. Kau tidak punya kabar apa-apa?”

“Sayangnya tidak,” jawab Selan singkat. Lalu ia berbalik seraya berseru, “Semoga bintang-bintang menyinari jalanmu, putra Kezser!”

Dan, seperti lari kuda-kuda ksatria yang tangkas, pria itu menyeberangi lembah menuju lereng hijau. Saat melompati pagar batu, jubah merahnya terangkat berkibar, memperlihatkan pedang kembar berkilau ketembagaan yang tergantung pada pinggangnya. Lalu sosok sang Af Larl semakin kecil, dan semakin kecil. Hingga hilang sama sekali di batas kaki langit.

Sketrrer mengawasi kepergian atasannya. Kemudian ia berbalik ke kiri dan segera memacu langkahnya. Pada waktu membantu penduduk desa memadamkan api bersama Selan, dia sempat melihat Canmi memberi pengobatan dalam salah satu bilik di Timur desa. Walaupun dalam hati Sketrrer khawatir adiknya terlalu banyak menghamburkan ramuan, ia tidak dapat berbuat apa-apa karena dirinya sendiri sibuk meredakan api. Namun kini pekerjaannya sudah selesai. Dia hanya ingin meninggalkan Hamer secepat mungkin. Maka Sketrrer berlari kencang, menyusuri kaki bukit batu ke arah Timur.

Ruangan tempat Canmi berada terletak pada sebuah sudut kaki bukit yang agak menjorok keluar. Dari jendela perseginya yang banyak, Sketrrer dapat melihat Canmi sudah tidak lagi memberi pengobatan. Gadis itu sedang bermain tepuk tangan dengan dua anak kecil. Selain mereka hanya ada empat orang lain: dua wanita tua, anak muda ceking yang dapat berbahasa Kanaen, serta seorang pria tinggi besar yang rambutnya berkuncir kecil.

Ketika Sketrrer sampai di depan pintu bilik yang telah hancur, si lelaki berkuncir segera bangun dari duduknya dan mendekat. Ia membungkuk dua kali, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa ibunya, Preyarem. Sketrer mengernyitkan dahi tidak mengerti. Bahasa orang-orang Ravemer yang diketahuinya hanya beberapa kata makian yang diajarkan Fetana, rekannya di Perguruan Kanatron. Pemuda itu hendak mengangkat bahu, tapi dilihatnya si kurus bergegas bangkit untuk menawarkan bantuan.

“Dia anak Erdu,” kata anak muda ceking itu setelah membungkukkan badan dua kali. “Dia mau terima kasih kamu sudah selamatkan kami,” lanjutnya terpatah-patah.

“Tidak usah,” kata Sketrrer menahan geli. Mendengar seorang lelaki kurus belasan tahun yang bicara dengan tata bahasa kacau mengingatkannya pada gelandangan di kota-kota Skoy. “Sudah kewajiban kami para Kanatron untuk melindungi orang lain. Kalian tidak perlu berterima kasih. Tetapi kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Ada tugas lain yang harus kukerjakan.”

Ia menatap Canmi yang tampak sedikit termangu dan merengut. Ditelengkannya kepala sedikit ke kiri untuk memberi tanda. Sketrrer puas melihat adiknya segera memanggul ransel dan menengenakan jubah. Kemudian dia kembali berpaling memandang pria berkuncir serta si kurus bergantian.

“Temanku sedang dalam perjalanan ke Skoy,” ujarnya lagi. “Dia akan memberitahu raja-raja kota di sana untuk memberi bantuan kemari. Tapi sebaiknya kalian juga mencari bantuan dari desa-desa tetangga.” Bagian terakhir dikatakannya ragu-ragu. Karena matanya yang tajam tidak melihat tanda-tanda hunian lain di sekitar Hamer, dia menduga memang tidak ada desa lain di sekitar sini, sekurangnya dalam jarak lima puluh mil.

Sketrrer menunggu si kurus menerjemahkan ucapannya untuk putra Erdu sembari mengawasi adiknya. Canmi memeluk setiap anak dan perempuan, mencium pipi mereka, baru setelah itu bergabung di sisi kakaknya. Kemudian si lelaki berkuncir berbicara lagi.

“Kamu tidak mau diantar?” Si kurus mengartikannya.

“Tidak usah. Kami pergi sekarang,” jawab Sketrrer. “Semoga bintang-bintang menerangi desa kalian.”

Ia mendengar Canmi mengulangi kalimat terakhirnya sebagai salam perpisahan, sang putra Erdu sepertinya mengatakan sesuatu. Ada senyap sesaat. Lalu anak-anak berlutut, diikuti para wanita, si kurus, dan putra Erdu sendiri. Pria yang memiliki kuncir bicara lagi. Dan keenam orang itu bersujud. Bulu tengkuk Sketrrer berdiri. Segera ditariknya lengan Canmi, lalu berbalik, berjalan menjauh secepat mungkin. Di belakang punggung mereka suara enam orang mulai berpadu menjadi sebuah nyanyian lain. Nadanya berulang-ulang: meninggi, merendah, meninggi, merendah. Sambil terus melangkah, Sketrrer menajamkan telinganya untuk menangkap kalimat yang diucapkan orang-orang itu. Ia berencana menanyakannya nanti pada Fetana, jika mereka bertemu kembali di Perguruan Kanatron.

Lantunan yang didengarnya kira-kira seperti ini, “Atana fel amanelo zi, imafeninala atevi preyar.”

Ketika itu, Sketrrer hanya memahaminya sebagai tanda perpisahan.

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -3)


 *****

Selagi berjalan di lorong utama Hamer yang lebar dan sepi, benak Sketrrer menjelajah jauh. Kabar kematian Erdu telah disebar, lantunan kematian masih menggaung samar, namun tidak ada orang lain di terowongan itu, kecuali dirinya dan Selan. Udara terasa pengap dan hangat di kulitnya, begitu mirip dengan saat itu. Kejadian tersebut sudah lewat empat puluh tujuh hari lamanya. Tetapi kenangan terhadapnya masih tertanam jelas dalam ingatan Sketrrer.

Fajar akhir musim dingin menyingsing pucat ketika Sketrrer menjadi tamu dalam ruang duduk pribadi Guru Besar Kanatron Keempat. Mereka berdua saja. Duduk berhadap-hadapan, dipisahkan meja walnut persegi panjang. Di atas meja, tepat di tengah, berdiri sebuah kandil dari perunggu yang menopang tiga lilin menyala. Selain itu, permukaan meja hitam polos tanpa hiasan apa-apa lagi. Sketrrer duduk tegak di kursinya yang empuk bersandaran tinggi. Mata biru gelapnya yang tajam menatap lekat sosok lelaki tua di hadapannya.

Guru Besar tampak tenang. Kedua bahunya yang kekar terbuka lebar, menampilkan dada yang bidang. Walaupun wajah cokelat kemerahannya mulai dimakan keriput usia, kakek itu tetap terlihat gagah. Seakan laju penuaannya terhenti pada umur lima puluh. Atau setidaknya, begitu dugaan Sketrrer. Sepanjang ingatan pemuda itu, wajah sang Guru tidak pernah berubah.  Itu lebih membuat Sketrrer kesal dalam banyak hal. Menurutnya, Guru Besar terlalu panjang umur, terlalu banyak lagak, dan – terutama – terlalu banyak bicara.

Pertemuan mereka pada hari itu dimulai dengan sebuah pertanyaan singkat dari sang Guru, “Bagaimana perkembangan keadaan di Utara?”

Setengah berharap pembicaraan ini selesai sebelum tengah hari, Sketrrer menjawab cepat, “Tidak terlalu baik. Aku belum pernah ke sana, cuma mendengar kabar saja. Perundingan dengan para Erdu dari Ehuor tersendat. Mereka tidak mau bekerja sama dengan Perguruan bahkan cenderung menarik diri. Beberapa orang bilang Terzien mulai menyebar pengaruh di sana.”

“Anda memanggilku untuk minta nasehat, Guru?” tambahnya setelah diam sejenak.

“Kalau benar begitu, apa pendapatmu?” Guru Besar balik bertanya.

Masih setengah tak percaya, Sketrrer menduga kakek tua itu hanya ingin menguji pengamatannya saja. Adalah hal yang aneh jika Guru Besar Keempat sungguh meminta nasehat orang lain. Tetapi kesempatan seperti ini terlalu sayang untuk disia-siakan. Sketrrer memiliki beberapa keberatan serta pandangan lain mengenai keputusan-keputusan sang Guru. Maka dengan hati-hati ia mulai mengutarakan pendapatnya.

“Terzien mulai menggeliat dari tidur, tapi bukan untuk perang. Belakangan ini mereka keluar berkelompok kecil-kecil, menyerang rombongan pedagang atau merampok desa-desa kecil. Kabar dari orang-orang kita mengatakan kalau mereka sudah punya hubungan dagang dengan bangsa Ehuor dan Oshtogar yang memang bukan sekutu kita. Tapi yang diperdagangkan lebih sering remeh-temeh. Misalnya susu, gandum, kerajinan logam, buah-buahan, domba, kambing, dan semacam itulah. Tidak pernah kedengaran senjata atau alat-alat perang lain. Ditambah lagi mereka sedang menjalin perundingan dengan orang Ehuor, sepertinya untuk meningkatkan perdagangan. Jadi semua itu berdasarkan motif keuangan, bukan perang. Malahan mereka cenderung menghindari jalur patroli orang-orang kita. Kalaupun bertemu, mereka memilih untuk menghindar sebelum tertangkap – aku pernah melihatnya sendiri. Menurutku, Terzien yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Mereka lebih jinak. Sudah bosan dengan segala macam perang melawan Kanatron, sepertinya. Terzien sudah berada dalam daerah nyamannya. Jadi kupikir, kita menunggu terlalu lama. Kalau ada kesempatan untuk menghancurkan Para Perusak itu sampai ke akar-akarnya, sekaranglah itu. Bukankah semua persiapan untuk Rencana Pembersihan sudah selesai? Kalau menunggu lebih lama lagi bisa-bisa para bajingan itu malah pulih sepenuhnya.”

 “Aku mengerti,” kata Guru Besar.

Sejenak Sketrrer merasa semangatnya melonjak naik. Ia telah membeberkan sejumlah bukti nyata yang penting, dan pendapatnya tidak keluar dari jalan pikiran yang sehat. Yang dikatakannya ialah demi kejayaan Perguruan, jadi dia berharap Guru Besar menerima pandangannya.

Tetapi kakek tua itu malah berkata, “Dasar kolam selalu kelihatan lebih pendek dari yang sesungguhnya, Sketrrer putra Kezser. Kau bisa mengamati riak yang timbul di permukaan sungai tapi bukan arus yang ada di bawahnya. Menggantungkan pemahaman pada salah satu ujung rantai adalah sangat berbahaya. Siapa pun tahu pemerintahan Guru Besar Kanatron Kedua ratusan tahun lalu tenang dan damai. Bisa dikatakan itulah masa kejayaan Perguruan Kanatron. Tetapi dua ratus orang itu memberontak pada masanya. Ah, ya! Hanya dua ratus! Apa yang dapat mereka lakukan? Sedangkan jumlah kita lebih dari seribu. Tapi sulit memperkirakan kekuatan sesuatu dari tampaknya. Ranting kering kelihatan tebal dan kokoh, tapi pisau dapur bisa memotongnya dengan mudah. Bambu halus kelihatan rapuh, tapi hanya orang terlatih yang bisa memotongnya dengan pedang.”

“Ya, ya. Dua ratus orang itu akhirnya mendirikan Terzien yang menjadi musuh terbesar kita sampai sekarang ini.”

“Kurasa ayahmu sudah mengajarkan adat sopan-santun padamu: jangan pernah memotong pembicaraan orang yang lebih tua! Aku belum selesai bicara,” tegur sang Guru tajam.

“Baiklah, tapi kuharap kita langsung ke intinya saja,” kata Sketrrer sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa semakin tua seseorang semakin banyak pula bicaranya. “Kenapa Anda memanggilku ke sini? Tidak hanya untuk meminta nasehat, bukan?”

“Tentu saja tidak. Tapi kau membutuhkan pemahaman sebelum menjalankan tugasmu.”

“Jadi Anda memang tidak mau menerima pendapat orang. Kelihatannya Anda masih punya ketakutan-tak-masuk-akal itu.”

“Nah, jadi bagaimana yang masuk-akal itu menurutmu?”

“Aku sudah mengatakannya: Terzien-Terzien itu sekarang masih lemah!” seru Sketrrer tidak sabar. “Sejak mereka kalah dalam Perang Kanatron enam puluh enam tahun lalu, kekuatan mereka sudah hampir hancur sepenuhnya. Kalau aku tidak salah, cuma sedikit para Terzien yang kabur dari perang itu. Lebih sedikit lagi yang sampai dengan selamat di Pegunungan Timur sebelum dihajar oleh orang-orang kita. Memang selama empat puluh tahun belakangan ini mereka kelihatan mulai bangkit. Tapi bukan berarti bertambah kuat. Lebih lemah malahan. Buktinya, serangan mereka semakin tidak terarah. Mereka sudah tidak punya semangat lagi untuk menghancurkan Kanatron. Mustahil mereka dapat menjadi sekuat zaman Guru Besar Ketiga dulu, sebelum Perang Kanatron. Setidaknya untuk lima tahun ke depan, aku menyimpulkan mereka belum siap.”

 “Bagaimana cara kau mengetahui kekuatan mereka sekarang ini?” tanya sang Guru lagi. “Kita tidak punya keterangan apa pun tentang Terzien, sejak mereka bersembunyi di Pegunungan Timur setelah Perang Kanatron berakhir.”

“Aku tidak punya bukti tertulis tentang itu. Tapi kita bisa menduga. Melihat jumlah Terzien yang berkeliaran, cara mereka melakukan serangan, sasaran serangan, arah kebijakan mereka, cara mereka menghindari orang-orang kita: itu jelas-jelas kemunduran!”

“Sekalipun aku tidak melihat seorang Terzien pun berkeliaran di dunia luar dalam lima puluh tahun, aku tetap percaya mereka menyembunyikan kekuatan yang jauh lebih besar.”

“Omong kosong!” geram Sketrrer. “Kita tidak bisa menduga arus di dalam sungai tanpa mempertimbangkan riak di atasnya juga! Anda mengabaikan semua kenyataan untuk mendukung ketakutan Anda sendiri.”

“Bukankah kau juga tidak memiliki bukti?” sahut Guru Besar. “Jadi mengapa aku harus mempercayai dugaanmu? Jika kau yakin dengan gagasanmu, mengapa tidak kau coba? Berikan padaku keterangan jelas mengenai peta kekuatan terbaru Terzien! Mungkin aku akan berubah pikiran. Bawalah pasukanmu sekalian. Aku bisa memberimu waktu tiga bulan.”

Tepat setelah itu Sketrrer duduk membisu. Benaknya menolak jalan pemikiran Guru Besar Keempat, namun ia tahu perintah kakek itu bukan untuk dibantah.

Bagaimanapun, Guru Besar memiliki reputasi langka. Meski pemikirannya sering dianggap janggal, pendapatnya sering terlalu mengada-ada, serta kesimpulan yang diambilnya sering bertentangan dengan bukti nyata, dugaannya selalu tepat. Seolah-olah ia memiliki antena seperti kecoa, yang tidak pernah mengecewakannya dalam menemukan kebenaran.

Sudah banyak orang yang membuktikan hal ini. Salah satunya seorang muda cerdas yang menjadi Socken Larl sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Sama seperti Sketrrer, ia juga bersilang pendapat dengan sang Guru. Akan tetapi, didorong oleh keyakinannya yang kuat akan pengamatannya dan tanggung jawab besar untuk menghindarkan Perguruan dari kekeliruan-yang-tak-masuk-akal, Socken Larl tersebut menerima tantangan Guru Besar. Kelanjutan kisahnya dapat ditebak: ia segera menyadari kesalahannya dan mengakui ketepatan dugaan-dugaan sang Guru.

Walaupun sesungguhnya Sketrrer cenderung mengacuhkan cerita semacam ini, dia memilih berhati-hati. Harga dirinya dirasa terlalu besar untuk dipertaruhkan. Jika rencana yang diutarakannya ternyata gagal, tentu namanya sebagai Herkhan terbaik akan tercoreng-moreng. Jadi, ia memutuskan untuk berdiam diri.

“Nah, kalau kau  tidak memiliki gagasan yang lebih baik, mengapa kau tidak mencoba membuka telinga terhadap pemikiran lain?” ujar Guru Besar berusaha memulai pembicaraan lagi. Sketrrer ingat benar, ketika itu fajar sudah berlalu dan matahari beranjak tinggi.

“Terzien tidak pernah tidur!” kata sang Guru. “Tidak sebelum Perang Kanatron, tidak ketika mereka menghilang dari dunia luar selama empat puluh tahun, tidak juga sekarang. Mereka menunggu. Seperti serigala tua lapar menanti mangsanya yang paling lemah. Dan, serigala itu sudah hampir berhasil menerkam kita pada Perang Kanatron, enam puluh tahun lalu. Kalau kau memperhatikan pelajaran sejarahmu dulu lebih baik, kau pasti ingat Guru Besar Ketiga terbunuh dalam perang itu. Dan jika bukan karena mereka tiba-tiba saja mengundurkan diri ke pegunungan, strategi kita tidak akan pernah berhasil – aku salah satu dari para pejabat tinggi yang menyusun strategi itu, jangan lupa. Lagipula, aku tidak ingat kita pernah menghancurkan tempat persembunyian mereka di Pegunungan Timur, kalau mereka memang benar-benar lemah seperti katamu.”

“Tentu saja tidak pernah. Kita lebih senang menunggu, bukan,” gerutu Sketrrer pelan.

“Ini kedua kalinya aku mengingatkanmu, Sketrrer putra Kezser!” sergah Guru Besar.

Kakek itu berhenti sesaat sebelum melanjutkan, “Ah, kita menunggu seperti singa muda. Tapi perang sudah dekat! Hatiku mengatakan, perang sudah di ambang pintu. Ini buruk. Berperang tanpa pengetahuan mengenai musuh adalah sia-sia. Para Terzien tahu segalanya tentang kita: benteng-benteng kita, desa-desa kita, jumlah pasukan kita, persenjataan kita. Sebaliknya, tentang mereka, kita tidak tahu apa-apa. Padahal kesempatan kita untuk menang hanya sekali saja. Jika enam puluh enam tahun yang lalu mereka hampir berhasil mengalahkan kita, kali ini mereka bisa benar-benar menghancurkan kita. Dan seluruh dunia akan tenggelam bersama kita, dalam bayang-bayang kelam kekuasaan para Terzien.”

“Jadi apa yang mau kita lakukan sekarang?” sahut Sketrrer cepat. “Duduk-duduk di sini tanpa mencoba untuk menyerang lebih dulu?”

“Tidak, kita tidak dapat melakukan itu. Menyerang tanpa mengetahui kekuatan musuh sama saja bunuh diri! Tetapi jika kita memiliki kekuatan yang cukup besar: lebih besar daripada kekuatan seluruh Perguruan Kanatron, lebih besar daripada kekuatan Para Penguasa, lebih besar daripada kekuatan terbesar yang dapat dicapai oleh para Terzien – maka kemenangan pasti berada di tangan kita.”

Apa yang dikatakan Guru Besar itu berhasil membuat bulu kuduk Sketrrer merinding. “Anda bicara soal kekuatan yang tidak terhingga, Guru.”

“Katamu itu tepat sekali.”

“Tapi di mana kita bisa memperoleh kekuatan macam itu?”

“Kunci-kunci Kanatron.”

“Ha!” Sketrrer melonjak berdiri. “Kau gila? Aku sudah cukup sabar mendengarmu, tapi –“

“Jaga mulutmu atau kuhukum kau, putra Kezser atau bukan!”

“Tidak dongeng-dongeng itu! Apa-apaan! Aku – “

“Kataku: diam!”

Sunyi sebentar. Sketrrer yakin saat itu ia berdiri kaku. Kenangan akan rasa panas yang menjalari tangannya masih terasa begitu nyata. Entah mengapa waktu itu ia tak mampu bergerak. Seolah-olah seluruh tubuhnya dicengkeram tangan tak kasat mata sang Guru Besar.

“Duduk!” perintah kakek tua itu tegas.

Sketrrer melemparkan diri ke kursi sembari menggertak kesal. “Aku keberatan dengan tugas macam ini! Yang bisa mengalahkan Terzien adalah strategi yang terarah dan masuk akal, bukan dongeng konyol macam itu!”

“Kupikir kita sudah bicara soal masuk-akal,” sahut Guru Besar. Secara janggal kakek itu tak lagi terlihat menakutkan atau mengancam. Ia kembali menjadi lelaki tua yang muram.

“Kunci-kunci Kanatron memang banyak diselubungi legenda hingga kebenarannya sendiri menjadi kabur,” lanjut sang Guru. “Tetapi cerita rakyat tidak datang dari udara kosong. Pasti ada serpihan kebenaran yang terselip di dalamnya. Untuk ini, kita – kau dan aku – setidaknya punya satu bukti.”

Kemudian orang tua itu mengeluarkan sesuatu dari saku tunik hitamnya. Benda tersebut bersegi empat, dengan kaki berulir mencuat dari setiap sudutnya. Tepiannya berlapis warna emas, lebih tua daripada emas murni sekalipun. Bagian dalamnya berhias warna biru yang lebih gelap dibanding lapis lazuli. Tepat di tengah-tengahnya, tertanam sebuah bola seperti kaca kristal berwarna jingga. Walaupun telah melihat benda semacam itu lebih dari seratus kali, Sketrrer tetap hanyut oleh pesonanya yang janggal. Anggun, kuno, dan mistis. Itulah Kunci Kanatron.

“Kunci itu memang nyata,” kata pemuda itu agak terpaksa. Ia tahu, dalam saku celananya pun tersimpan sebuah Kunci. Harta warisan pemberian ayahnya.

“Tapi tidak dengan semua legendanya,” ujarnya melanjutkan.

Sebagian kurasa lebih tepat,” koreksi Guru Besar. “Bagaimanapun, Kunci-kunci inilah yang dapat membangkitkan Kekuatan Dunia.”

“Itu bohong,” sergah Sketrrer. Bahkan sang ayah yang memberinya sebuah Kunci juga tidak mempercayai adanya Kekuatan Dunia. Benda itu hanya merupakan pusaka turun-temurun. Simbol kedarahbiruan. Sebab dua puluh pemilik Kunci yang pertama-tama merupakan Kanatron terhebat pada masanya.

“Milikku tidak beguna untuk apa pun selain pajangan,” tambah Sketrrer. “Lagipula tidak ada pemilik Kunci yang percaya dongeng kuno itu. Kecuali tentu saja, para budak buku yang senang menyiksa diri di perpustakaan.”

“Ya. Tapi apa yang dipercayai sebagian besar orang tidak sama dengan sebuah kebenaran. Bahkan kau sendiri melupakan bagian terpenting dari legenda itu: Kunci Kanatron hanya dapat membangkitkan Kekuatan Dunia jika keduapuluhnya berkumpul,” kata Guru Besar sambil memasukkan kembali Kuncinya ke dalam saku.  “Tetapi sejak ratusan tahun lalu dua puluh Kunci sudah tersebar di seluruh Shera, dan tidak ada yang mencoba mengumpulkannya. Lagipula, para budak buku yang kau benci itu telah memastikan beberapa kebenaran yang terkandung dalam cerita-cerita rakyat. Bahwa keberadaan Kunci memang nyata adanya – seperti yang kau sendiri tahu, bahwa jumlah seluruhnya memang dua puluh buah, dan bahwa Kekuatan Dunia memang benar ada. Aku berharap tidak perlu beradu pendapat denganmu lagi, tapi kau telah memaksaku untuk memberikan sedikit penjelasan.”

Sejujurnya Sketrrer hampir tidak ingat apa-apa mengenai penjelasan itu.  Guru Besar bicara panjang dan lama sekali. Kebanyakan tentang berbagai macam cerita rakyat dari seluruh penjuru dunia. Hanya sedikit saja yang terlihat cukup penting – itu pun lebih banyak menambah keraguan. Tidak ada satu pun dongeng kuno yang benar-benar memuat Kunci Kanatron. Sebaliknya kisah-kisah itu sering menceritakan kumpulan benda ajaib: kalung mutiara, pedang pusaka, gigi emas, dan lain-lain. Bahkan legenda para Kanatron lebih suka menyamarkan Kunci sebagai gerthalen – yang dua puluh. Sedangkan Kekuatan Dunia hanya pernah disebut sekali, dalam sebuah sajak kuno yang tidak terlalu terkenal.

Namun demikian, ada satu cerita yang menggelitik Sketrrer. Kisah itu meriwayatkan dua puluh jubah ajaib yang diturunkan langit kepada para pangeran hutan. Rupanya pendapat bahwa Kunci merupakan lambang kedarahbiruan diturunkan dari legenda ini. Maka mau tidak mau Sketrrer sedikit tersipu ketika mengingatnya. Sebelum Guru Besar, tidak pernah ada orang lain yang memberitahunya cerita itu. Kalau saja ada barangkali ia tidak akan terlalu membanggakan para leluhurnya.

Tapi, tidak juga. Tanpa adanya dongeng itu pun kehormatan keluarga Sketrrer telah terbukti. Sepanjang sejarah Perguruan Kanatron, keluarganya selalu menduduki jabatan penting, atau menyandang gelar terbaik: Socken Larl terbaik, Af Larl terbaik, tabib terbaik, dan Herkhan terbaik – dirinya sendiri.

Selanjutnya -->

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -2)


“Terzien menyerang kemari,” sebuah suara rendah bicara. Sebetulnya tidak ditujukan Canmi, tetapi cukup menjawab pertanyaannya.

Lelaki yang berbicara umurnya sudah setengah baya. Wajahnya agak persegi dengan cambang kasar yang mestinya berwarna keemasan namun tampak kini tampak sedikit gelap. Ia mengenakan jubah merah gelap yang tampak semakin suram dalam suasana kelabu. Silang hitam bersudut lancip, lambang para Kanatron, terjahit di dada jubahnya. Bahkan di bawah langit berasap seperti saat ini, pola gugusan Bintang Barat yang terukir halus dalam warna hitamnya masih tampak berkilau redup: sebentar ada, sebentar hilang. Canmi mengenali orang itu. Namanya Selan, seorang Af Larl Kanatron yang juga merupakan atasan kakaknya. Sungguh sebuah kebetulan bertemu dengannya di sini. Tetapi Selan hanya berbicara pada Sketrrer, Canmi sudah lama mereka acuhkan. Bahkan kemudian mereka melangkah menjauh, menjaga jarak enam langkah dari gadis itu.

Ketika empat orang pria datang mendekat untuk bicara dengan Selan, Canmi menjadi semakin tersisih. Ia menyadari empat orang itu bukan bangsa Skoy seperti dirinya. Mereka berkata-kata dalam bahasa lain, bukan bahasa Kanaen yang dikenalnya. Penampilan mereka pun terlihat asing: rambut ikal kemerahan, kulit cokelat, mata hijau sipit, hidung besar yang mancung. Semuanya mengingatkan Canmi pada Esila, rekan kerjanya di Kamar Ramuan Perguruan Kanatron.  Ia menduga orang-orang itu juga bangsa Ravemer, sama seperti Esila. Kalau begitu ternyata dirinya belum juga keluar dari padang Preyar. Selama delapan belas tahun kehidupannya, dunia Canmi dibatasi tembok luar Perguruan Kanatron dan ladang-ladang rumahnya sendiri. Walaupun sejak dulu orang sering menggambarkan luasnya padang Preyar padanya, ia masih tidak dapat membayangkan sampai di mana hamparan rumput ini membentang. Tetapi dia dapat menyimpulkan satu hal: Tanah Beku tentu lebih jauh daripada yang selama ini dibayangkannya.

Keempat pria Ravemer tampaknya memohonkan sesuatu pada Selan. Meski tidak mengerti bahasa orang-orang Preyar, Canmi dapat membacanya dari raut wajah mereka. Kedua alis yang berkerut naik ke atas, mata yang sedikit nanar, dan nada suara yang halus agak serak mengiba memperlihatkan betapa dalam kesedihan mereka. Namun sesekali tatapan keempat lelaki itu terarah penuh curiga kepada Canmi sehingga gadis itu menjadi risih. Barangkali kehadiran seorang perempuan dalam pembicaraan tidak diharapkan orang-orang itu. Maka Canmi memutuskan untuk pergi menjauh. Tapi ketika hendak melangkah, kakinya terantuk sesuatu. Sesosok jenazah. Mayat itu mengenakan jubah kelabu gelap bernoda darah dengan silang putih berujung runcing terjahit pada bagian dadanya. Lambang para Terzien. Pantas saja Canmi dicurigai, jubahnya juga berwarna kelabu meski agak lebih terang. Ketika melihat dirinya sendiri, gadis itu mendapati tanda silang hitamnya tertutup oleh lipatan kain yang kusut. Dirapikannya jubahnya. Mata-mata yang tadi ragu kini terbelalak, lalu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu malu.

Tetapi perhatian Canmi segera tertuju pada sosok Terzien yang tergeletak tak bernyawa di kakinya. Suatu gejolak timbul dalam dadanya. Pria berjubah kelabu itu adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian mengerikan ini. Namun sekarang ia tergolek tak berdaya, terluka dan berdarah-darah seburuk semua jasad lain di tempat ini. Hati Canmi jatuh kasihan, tetapi cepat berubah menjadi jijik, lalu gamang. Terzien itu penjahat, tidak seperti para wanita serta anak-anak tak berdosa yang mereka bantai. Kematian mengerikan mungkin hukuman setimpal bagi kejahatan yang telah dia perbuat. Tapi bagaimanapun, orang itu – dalam keadaannya yang mengenaskan seperti ini – adalah manusia.

Suara tangis seorang perempuan tiba-tiba pecah. Canmi menoleh. Kira-kira ada belasan orang yang tengah berhimpun di hadapan Selan dan kakaknya. Pada bagian terdepan tampak seorang perempuan menarik-narik lengan jubah Selan sambil memohon dalam bahasanya yang asing. Dalam gendongan wanita itu bergelung seorang anak lelaki kecil yang tampak buruk. Dahi kirinya berdarah seperti bekas pukulan benda tumpul, bahu serta lengannya tersayat-sayat, dan perutnya melepuh lembap kemerahan. Namun baik Selan maupun Sketrrer sepertinya tidak mengerti. Mereka menggeleng, lalu mengangkat tangan untuk menolak.

Segera Canmi berlari ke samping kakaknya. Ia melihat anak kecil yang terluka terus menangis lemah kesakitan. Hati gadis itu menjadi iba. Dia mengangkat kepala, memandang kerumunan orang dewasa di hadapannya. Tetapi mereka semua berkulit cokelat, bermata hijau, serta berambut merah, tidak satu pun berasal dari Skoy.

“Ada yang bisa bahasa Kanaen di sini?” tanya Canmi setengah putus asa. Ia ragu orang-orang itu mengerti pertanyaannya. Namun ternyata beberapa orang mendorong seorang pemuda kurus ceking ke barisan depan. Bisa jadi mereka hanya memahami satu kata dari kalimat Canmi: Kanaen, karena bahasa orang-orang Skoy telah lama tersohor di seluruh Shera. Tapi itu sudah cukup meringankan perasaan Canmi.

“Ada yang punya air? Aku perlu air,” katanya pada si pemuda ceking. Orang itu segera berlari pergi. Sementara Canmi meletakkan tangannya di atas perut anak yang terluka.

“Tidak, Canmi!” Sketrrer tiba-tiba mencengkeram bahu adiknya. “Kau tidak bisa melakukan itu. Villen Nopheus tidak boleh digunakan pada orang biasa, Perguruan sudah lama melarang hal itu. Tenaganya tidak akan cukup, kalau kau memaksa –“

Aku seorang tabib.” Canmi berbalik tiba-tiba, menatap Sketrrer tajam. Ia melepaskan diri dengan kasar dari cengkeraman kakaknya. “Aku tahu apa yang kulakukan.”

“Tapi –“

Canmi memalingkan wajah, mengacuhkan Sketrrer. Kalimat pemuda itu pun terhenti di tengah-tengah. Meskipun adat menghormati orang tua mengakar dalam diri orang-orang Skoy, terkadang Canmi tergoda untuk tidak peduli. Baginya Sketrrer terlalu senang ikut campur. Pemuda itu tidak tahu apa-apa tentang ilmu pengobatan. Canmi-lah yang seorang tabib, yang sudah mempelajari ilmu pengobatan para Kanatron selama bertahun-tahun. Bukan kakaknya.

Gadis itu kembali memandang si anak lelaki. Ia memegang lembut bekas luka di perut anak itu. Rasa hangat menggelitik ujung-ujung jemarinya sejenak, lalu mengalir keluar. Perlahan-lahan luka itu tertutup oleh serat-serat putih halus seperti benang, satu per satu lepuh koyak, cairan agak kental meleleh keluar, warna kemerahan menghilang, kulit menjalin dengan kulit. Tangisan si kecil berhenti. Canmi mengusap bekas-bekas lelehan yang menodai perut anak itu. Lalu semua orang terkesiap takjub. Tidak ada lagi luka. Bahkan bekasnya pun tidak.

Terdengar satu orang menggumam pelan di antara kerumunan, kemudian yang lain segera menyusul. Mereka berbicara perlahan bersahut-sahutan sehingga terdengar seperti dengung lebah. Canmi tidak mengerti apa yang dipercakapkan orang-orang itu. Namun ia dapat merasakan kekaguman mereka. Ada rasa bangga menyelip dalam hati kecilnya, apalagi suara kakaknya tidak terdengar lagi. Ia menang. Villen Nopheus dapat digunakan pada orang biasa.

Namun demikian bukan berarti tugasnya telah selesai. Anak kecil yang terluka itu membutuhkan perawatan untuk luka di perut dan lengannya. Canmi menjulurkan lehernya, mencari-cari si pemuda ceking di antara orang-orang. Lelaki bertubuh pendek itu muncul dari salah satu pintu pendek bukit batu, ia berlari kecil mendekat dengan sebuah mangkuk di tangannya.

“Siapa namamu?” tanya Canmi begitu pemuda itu sampai di sisinya.

“Patem,” jawab orang itu lirih. Matanya yang agak lebih lebar dibanding orang Ravemer kebanyakan terus terpaku pada air dalam mangkuknya.

“Tidak adakah tempat yang lebih bersih di sini? Kita tidak bisa merawat anak itu di sini.”

Ketika memandang berkeliling, Canmi mendapati Sketrrer dan Selan tidak terlihat lagi. Ia mendengar Patem menyerukan sesuatu. Kerumunan kembali riuh. Tiga orang tampak menunjuk ke arah bukit, empat orang sibuk mengutarakan pendapat, yang lain mengangguk-angguk. Sepertinya mereka sudah menentukan tempatnya, karena setiap orang mulai bergerak menuju bukit. Seorang ibu bertubuh gemuk dan berwajah bulan purnama menggamit lengan Canmi, menuntunnya mengikuti langkah rombongan menuju salah satu gerbang lengkung pendek yang tidak terlalu besar.

Sembari berjalan, mata Canmi tidak dapat lepas dari Patem. Ia mengamati pemuda itu berjalan agak jauh di depan. Kedua kakinya begitu kurus sampai tulang-tulangnya tampak menonjol, juga agak melengkung ke arah dalam seperti tapal kuda. Walau begitu Patem dapat melangkah cepat sekali. Sebentar kemudian Canmi harus sering berjinjit untuk dapat memastikan keberadaan pemuda itu dalam rombongan. Sekurang-kurangnya dia harus memiliki seorang penerjemah.

Adat bangsa Ravemer sering dianggap tertinggal dibanding orang-orang Skoy. Namun ketika memasuki rumah-bukit-batu, Canmi mendapati dirinya berada di tempat yang menarik. Saat pertama kali menjejakkan kaki di Perguruan Kanatron, ia terpesona melihat tembok batu raksasa yang mengelilingi pegunungan itu. Tetapi yang dilihatnya sekarang ini jauh lebih ajaib. Gadis itu tak pernah membayangkan rasanya tinggal di dalam bukit. Ternyata udaranya hangat, tidak terlalu panas atau dingin, meski sekarang tercemar oleh bau-bauan tak sedap. Orang-orang yang menghuni tempat ini telah memahatnya sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah gua buatan. Lorong-lorongnya banyak, bercabang-cabang dan berliku-liku. Kamar-kamarnya pun banyak, sepertinya setiap beberapa belas langkah sekali Canmi mendapati sebuah pintu. Rumah-bukit-batu benar-benar besar. Entah berapa ratus orang yang dapat tinggal di dalamnya. Barangkali tempat ini lebih tepat disebut desa-bukit-batu.

Mereka berjalan cukup lama. Semakin ke dalam cahaya semakin redup, hingga tinggal remang-remang sisa obor yang menggantung di dinding. Mereka membelok ke kanan, ke kiri, lalu kanan lagi, kiri lagi. Sebentar saja Canmi sudah kehilangan arah. Tapi ia menyadari kalau jumlah rombongannya bertambah. Ada wajah-wajah baru yang ikut menggabungkan diri: laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak – kebanyakan sakit atau membawa orang sakit. Kelihatannya kekuatan Villen Nopheus Canmi sudah tersebar di seluruh desa.

Cahaya alami berangsur-angsur kembali menggantikan nyala redup api obor. Ketika akhirnya berhenti, Canmi menduga dirinya telah berjalan menembus perut bukit. Rombongannya berada di dalam sebuah ruangan segibanyak yang jendela-jendelanya membuka keluar, menampilkan bekas ladang yang hangus kehitaman. Selebihnya tempat itu nyaris kosong, kecuali sebuah meja bundar setinggi lutut yang berdiri di tengah-tengah dan bantal-bantal bulu yang berserakan di salah satu sudut. Walau begitu, para lelaki harus memakai bantal untuk mengusir debu dari atas meja. Baru setelahnya mereka mempersilakan Canmi untuk duduk.

Melepas ransel, duduk di belakang meja, dan melihat puluhan orang berbaris memanjang, membuat Canmi teringat akan hasratnya. Setiap Kanatron dilahirkan sebagai penyelamat dunia. Bukankah itu merupakan cita-cita para pendiri Perguruan? Tetapi ilmu pengobatan Kanatron terlalu dirahasiakan, Villen Nopheus tidak boleh dipakai kepada orang biasa. Bagi Canmi, peraturan semacam itu hanyalah omong kosong ganjil. Bukan hanya sesama Kanatron yang memerlukan pengobatan. Orang-orang awam pun membutuhkannya. Jadi baru sekarang, setelah delapan belas tahun kehidupannya, Canmi merasa sungguh-sungguh menjadi seorang Kanatron.

Ia segera menata lima buah mangkuk kecil, sebuah lumpang dari logam yang ringan beserta alunya, dua buah piring kecil, sebuah kantung kulit, tiga botol perak, dan dua kotak obat hitam di atas meja. Mula-mula Canmi menyelesaikan pengobatan anak lelaki yang sudah diberkahinya dengan sentuhan Villen Nopheus. Disuruhnya Patem memberi anak itu minum. Sedangkan dia sendiri menaburkan bubuk hijau-cokelat yang tersimpan dalam salah satu kotak hitamnya ke atas luka sayat yang menganga di bahu serta lengan si kecil. Kemudian diambilnya salah satu botol perak, dibukanya tutup botol itu, lalu diciumnya. Aromanya pedas. Canmi berhati-hati menuangkan minyak harum tersebut pada luka yang telah dibubuhi bubuk hijau-cokelat. Cukup sedikit saja. Lalu ia membalut lengan dan bahu si kecil dengan kain putih tulang. Sementara luka tumbuk di kepala anak itu disembuhkannya dengan Villen Nopheus..

Kemudian Canmi menangani seorang gadis kecil yang timpang. Bonggol tulang betis anak itu menonjol keluar seperti sebuah benjolan. Lagi-lagi Canmi merasa trenyuh. Ia tak mengerti mengapa Terzien tega melakukan semua ini. Diambilnya botol perak lain yang isinya berbau menyengat seperti bir. Tangan kirinya menghangat saat mengusap dahi si gadis kecil, sementara tangan kanannya segera menuang cairan dalam botol ke atas kaki yang timpang. Canmi menahan nafas.  Benaknya menampilkan citra persendian kaki. Lalu dengan cepat ia menarik betis si gadis kecil, mengembalikan tulangnya ke tempat yang seharusnya. Tidak ada jeritan. Ilmu pemutusan-rasa-sementara Canmi membuat anak perempuan tadi tidak merasa sakit. Si gadis kecil bahkan dapat berdiri, mencium kening orang yang menyembuhkannya, kemudian membunguk hormat sebelum berlari pergi. Canmi tersenyum membalas salam si kecil, namun lubuk hatinya terasa getir.

Semakin banyak orang yang dirawatnya, hati Canmi malah semakin galau. Yang sejak tadi menghampiri mejanya kebanyakan adalah anak-anak serta perempuan-perempuan tua. Tetapi mereka menderita luka-luka yang mengerikan: sayatan panjang yang tipis namun dalam, tusukan benda tajam, luka tumbukan, luka bakar, keracunan, patah tulang. Jika yang mengalaminya adalah para prajurit yang pergi ke medan tempur, barangkali Canmi masih menganggapnya (cukup) wajar. Tapi anak-anak? Ibu-ibu tua? Bisa jadi mereka tidak tahu apa-apa soal urusan para Terzien, apalagi turut ambil bagian di dalamnya. Di Perguruan, Terzien sering disebut sebagai Para Perusak yang jahat dan licik.  Tetapi sekarang Canmi tahu mereka bukan hanya Perusak, lebih buruk dari itu. Mereka bukan manusia. Atau kalaupun mereka manusia, hatinya lebih busuk daripada binatang-binatang hutan. Benarlah kata Guru Besar, orang-orang itu akan membawa bayang-bayang kegelapan meliputi seluruh Shera. Kanatron harus segera menghentikan mereka. Canmi jadi teringat akan tugasnya. Kini ia yakin tugas itu benar-benar penting.

Lamunannya buyar. Suasana tahu-tahu menjadi riuh. Ketika mengangkat kepala, Canmi melihat seorang pria bertubuh besar telah berdiri di ambang pintu. Orang itu membungkuk, menopang tubuhnya ke tiang pintu sebelah kiri sambil terengah-engah mengatur nafas. Lelaki itu mengatakan sesuatu. Suaranya serak, tertahan, tapi cukup keras. Kemudian semua orang saling bicara. Canmi dapat melihat kesedihan di mata pria yang di pintu itu. Ia menduga orang itu adalah pembawa kabar, dan  yang disampaikannya pastilah buruk karena semua menjadi muram. Beberapa lelaki yang berada di barisan paling belakang tampaknya menanyakan sesuatu pada si pembawa berita. Pria besar di pintu itu menggeleng, mengucapkan sesuatu dengan lemah. Sebuah kalimat pendek. Lalu setiap orang membelalakkan mata. Patem yang berdiri di samping Canmi menjatuhkan mangkuknya.

“Apa yang terjadi?” bisik Canmi. Ia merasa ketakutan merambati punggung tangannya.

“Erdu,” ucap Patem seperti orang hampir menangis. “Erdu telah mati.”

Lalu hening. Kemuraman meliputi seluruh ruangan. Semua orang berhenti bekerja, berlutut, menengadah, kemudian melantunkan nada. Lelaki memulai dengan suara rendah dan suram. Lalu wanita dan anak-anak menyahut dalam nada yang lebih tinggi. Segera suara mereka berpadu menjadi nyanyian sendu dalam nada-nada monoton lambat yang berulang-ulang, menggaung ke seluruh sendi-sendi gua. Sayup-sayup dari jauh, terdengarlah sebuah balasan: nyanyian yang sama, nada yang sama. Dan seluruh gua seakan menggemakan lagu yang sama. Sendu, tenang, khidmat, suram.

Lagu kematian.

Selanjutnya -->

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -1)


BAB DUA

Ketika melihat kakaknya melompat turun terburu-buru dari atas pohon, Canmi masih duduk termangu-mangu. Ia tak mengerti mengapa pemuda itu tampak kusut, muram, dan sedikit panik di tengah hari cerah seperti ini.

“Cepat berkemas!” seru kakaknya.

“Apa yang terjadi, Sketrrer?” tanya Canmi kebingungan. Tapi tangannya patuh juga memasukkan periuk kecil, centong kayu, serta sebungkus roti kering ke dalam ransel.

“Ada asap.”

Sketrrer empat tahun lebih tua daripada Canmi. Ia juga lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih cepat. Ketika Canmi masih berlambat-lambat menggulung alas tidurnya yang tipis, Sketrrer sudah selesai mengikat ransel. Pemuda itu mendengus tidak sabar, lalu bergegas membantu adik perempuannya menjejalkan selimut ke dalam tas.

“Cepat pakai,” katanya sambil menyodorkan ransel cokelat muda milik Canmi.

“Ke mana kita pergi?” Canmi menggantung ransel di punggungnya, membenahi bros berbentuk daun mint keperakan yang mengikat mantelnya.

“Naik ke punggungku, pegangan yang erat!” Kakaknya segera berlutut.

Canmi ingin bertanya lagi: mengapa?, tapi Sketrrer sudah menarik kedua lengannya, menopang pinggulnya, lalu melompat tinggi ke udara. Untuk sesaat Canmi merasa seperti dicerabut dari tanah. Tetapi perasaan itu segera berubah menjadi ringan tanpa bobot. Lalu sentakan. Ranselnya yang berat terguncang di punggung sehingga bahu gadis itu menjadi sakit. Tubuhnya melayang ke bawah seperti daun jatuh. Perutnya terbentur-bentur pada ransel Sketrrer yang menggembung di balik jubah hijau gelap pemuda itu.

Canmi memeluk leher kakaknya erat-erat. Secara janggal angin berputar-putar di antara pinggang dan bahu kakaknya seperti telur. Kemudian pecah, menyembur keluar sebagai sepasang sayap kuat dan lebar. Sewaktu sayap itu mengepak, sekali lagi Canmi tersentak. Sketrrer membawanya melonjak naik meninggalkan hamparan rumput hijau padang Preyar. Hanya sesekali saja pemuda itu mengepak-ngepak. Kedua sayapnya lebih sering terentang diam di samping badannya, sehingga lebarnya mencapai empat depa dari ujung satu ke ujung lainnya. Cara terbang rajawali. Canmi pernah membacanya di buku dan melihat burung-burung raksasa itu melayang-layang di langit Perguruan Kanatron. Meskipun kecintaan utamanya ialah ilmu tumbuh-tumbuhan, Canmi juga menyukai ilmu hewan. Tapi itu bukan berarti dia suka terbang.

Gadis itu kesal jika angin mengacak-acak rambut cokelat madu yang sudah susah payah ditatanya setiap pagi. Sekarang ujung-ujung rambutnya yang bergelombang mulai menggelitik wajahnya sehingga mata biru Canmi terasa gatal. Belum lagi jubah kelabu mudanya menjadi berat karena dihembus kencang ke belakang. Pipinya seperti ditampar ribuan jarum halus. Buku-buku jarinya memutih kaku, karena takut dan kedinginan.

Ia penasaran di mana dirinya berada sekarang. Udara yang mulai menusuk tulang membuatnya berpikir kalau Sketrrer terbang meninggalkan padang Preyar menuju Utara, ke Tanah Beku yang Jauh di mana salju diam sepanjang tahun. Canmi hanya memiliki sedikit pengetahuan ilmu bumi, tapi ia tahu Tanah Beku yang Jauh ialah ujung dunia. Tempat itu merupakan titik paling Utara dari Shera – Tanah Kehidupan yang ditinggalinya. Menurut cerita para Kanatron yang gemar bepergian, di sana berdiri sebuah istana es. Seluruh temboknya terbuat dari es murni yang berkilau seperti kristal di bawah cahaya bulan. Sejak pertama kali mendengar kisah itu, Canmi sudah terpesona.

Kini, mengira dirinya tengah melayang di atas Tanah Beku, ia memberanikan diri mengintip ke bawah. Hanya ada putih. Tidak ada kristal es, apalagi istana. Lalu perutnya mual dan kepalanya pusing. Canmi merapatkan kelopak mata. Ia merasa akan tergelincir jatuh, jadi dicengkeramnya tunik Sketrrer sekuat tenaga. Tapi tubuhnya tetap bergulir ke kanan. Pinggulnya ditopang seseorang. Lalu sentakan keras. Tubuh Canmi seakan dilontarkan kuat-kuat ke depan, terbanting ke kanan, lalu menukik tajam.

Ketika sentakan kedua datang, Canmi merasa seluruh cairan tubuhnya disedot ke bawah. Telinganya tersumbat. Ia terjun terbolak-balik: atas, bawah, atas, bawah, atas, bawah. Dan segera dia tak tahu lagi mana yang atas mana yang bawah. Perutnya terkocok ke segala arah. Ia hendak menyumpahi Sketrrer karena penerbangan gila yang menyebalkan ini, tapi mulutnya tertahan oleh hajaran debu. Lidah Canmi menjadi pahit. Nafasnya sesak. Dia ditarik turun, turun, turun, dan turun.

Lalu benturan. Rasanya seluruh raga Canmi melesak ke dasar dunia. Dagunya terantuk pada ransel Sketrrer yang besar. Sayup-sayup ia mendengar kakaknya menggerutu. Dibalasnya dalam hati. Seharusnya dialah yang layak kesal.

Sedikit terhuyung-huyung, kaki gadis itu menemukan pijakan padat. Ia sudah kembali ke tanah. Dipegangnya dahi dan telinganya yang terasa sakit dengan ujung jari. Aliran hangat memancar dari sana, meresap nikmat ke seluruh tubuh. Perlahan-lahan pendengaran Canmi kembali normal. Rasa pusing dan mualnya pun hilang. Ia membuka mata.

Warna kelabu sendu, bau hangus, serta amis darah menyapanya. Dia berada di dasar lembah yang bundar seperti mangkuk, bukan di sebuah padang es. Di hadapannya bukit batu kelam menjulang tegak dan muram. Barangkali bukit itu awalnya sebuah rumah besar. Gerbang-gerbang berambang lengkung, pintu-pintu pendek lebar, serta jendela-jendela persegi dipahat pada setiap sisinya. Namun genangan darah merah kehitaman, tanah gosong bekas terbakar, bangkai kambing serta domba dan kuda yang tergeletak sembarangan, juga tubuh-tubuh orang mati yang bergelimpangan di mana-mana, membuatnya terlihat seperti pemakaman. Langit kusam karena dipenuhi asap sisa pembakaran ladang yang agak tersembunyi di balik bukit.

“Apa yang terjadi di sini?” bisik Canmi seolah pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu banyak soal perang, namun pembunuhan wanita serta anak-anak yang tidak berdosa menurutnya adalah tindakan keji. Darah berdesir di balik kulitnya. Ia jijik. Siapa yang tega melakukan kejahatan semacam ini?

Selanjutnya -->

Kamis, 06 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (1)




BAB SATU

Hari itu datangnya tiba-tiba. Seperti angin yang tahu-tahu berubah arah, atau percikan bara di musim panas yang tiba-tiba berkobar menggila. Fajar menyingsing dengan tenang dan damai di gua enam puluh delapan kamar Hamer. Anak-anak sibuk bermain-main, para wanita menyiapkan sarapan, para pria menengok ladang atau bersiap pergi menggembala kambing domba. Kemudian mereka datang. Dua puluh orang asing berjubah kelabu muncul dari arah padang. Tanpa tombak atau panah atau pedang, mereka menyerbu, dan membunuh. Dan pagi hari di Hamer pun berubah menjadi malam.

Erdu merapatkan diri ke dinding. Dalam keremangan tangannya meraba-raba lekuk tembok batu yang tidak rata. Setiap kali dentuman terdengar, ia mencengkeram ceruk dinding erat-erat hingga kukunya terasa sakit. Erangan kematian yang menggaung samar setelah itu membuat hatinya terasa melesak ke perut. Erdu mengigit bibir. Ia berusaha menarik nafas dalam untuk menenangkan diri, namun malah terbatuk-batuk karena asap yang memenuhi ruangan. Semua pintu kamarnya ditutup, semua jendela dipalangi, semua lilin telah dimatikan, tapi Erdu tetap merasa tidak aman. Bahaya dapat menyusup dari celah-celah sempit palang kayu atau pintu, seperti sinar redup merah yang menerobos dari jendela sebelah kanan. Pria itu sudah enam puluh satu tahun umurnya. Punggungnya agak bungkuk dan kaki kirinya sedikit timpang. Ia tidak dapat berbuat banyak, selain menunggu.

Ada suara langkah yang lamat-lamat mendekat. Erdu langsung menahan nafas. Ia mendengar seorang wanita berlari terengah-engah menyusuri lorong sambil terus berseru memohon belas kasihan. Di belakang perempuan itu terdengar langkah lain. Lebih halus dan ringan, seperti angin yang bertiup di atas lantai batu. Lalu kilatan cahaya perak menyembur di balik jendela sebelah kiri. Si wanita memekik. Sesuatu membentur tembok, keras sekali sehingga karpet bulu yang tergantung padanya bergetar. Berkas cahaya segera lenyap. Suara perempuan tadi pun tidak terdengar lagi. Sebagai gantinya bau amis darah segar menguar di udara, menyusup lewat celah-celah sempit palang jendela. Erdu membuang nafas tanpa suara. Ia tahu, wanita itu sudah mati.

Samar-samar Erdu mendengar dua orang asing bicara di balik tembok dengan nada-nada rendah. Mereka pasti Terzien, Para Utusan Maut yang datang dari Tenggara. Jubah kelabu mereka menimbulkan bunyi kelepak halus, sepertinya ada angin yang tengah berhembus di lorong. Erdu berusaha menegakkan punggung. Jika maut datang sekarang, dia memilih untuk menjemputnya dengan sikap seorang ksatria. Tapi bagaimanapun jemarinya tetap gemetar. Nafasnya naik turun memburu dan jantungnya berdebar-debar. Ia mendengar salah satu Terzien mengeraskan suaranya. Hatinya mencelos. Erdu memejamkan mata sipitnya, bersiap mendengar suara palang jendela didobrak serta derap langkah kaki yang menyerbu masuk. Namun yang didengarnya malah langkah orang berlari pergi. Lagi-lagi seperti hembusan angin: sekejap ada, lalu lenyap. Terzien tidak menemukannya. Erdu menghela nafas. Ia selamat, untuk sementara waktu.

Mendadak suatu ledakan mengguntur hebat menggetarkan gua. Erdu terpelanting membentur tembok di sebelah kiri, lemari di sebelah kanan, lalu tersungkur menumbuk lantai. Piring-piring berjatuhan dari rak. Lemari kayu roboh. Busur serta anak panah terlempar ke lantai. Karpet-karpet bulu di dinding pun berguguran. Walaupun Erdu sudah menutup telinga, suara yang terdengar tetap memekakkan, seakan halilintar menyambar tepat di sisinya. Pria itu merasa pening. Pandangannya mengabur, dunianya terasa berputar. Kemudian terdengar dengung panjang. Telinganya basah oleh darah.

Erdu mendapati dirinya berbaring menyamping dengan kaki tertekuk sampai ke dada. Pakaian kulit menempel pada tubuh gemuknya karena keringat. Ia menghapus air mata yang tanpa sadar membanjir, mengerjap-ngerjap untuk memperjelas penglihatannya. Kini dia berada di pojok sebuah bilik yang porak poranda. Meja batu bundar yang lebar di tengah ruangan tertimbun berbagai macam barang: tenunan Elesi yang indah-indah, kain halus, pakaian kulit, karpet bulu, gantungan logam, manik-manik, gerabah pecah, serta piala-piala. Debu menyelimuti tumpukan itu seperti onggokan sampah. Hanya setengah lengan jauhnya dari wajah, Erdu melihat busur tergeletak bersama anak-anak panahnya. Namun ia tak berhasrat menyentuhnya. Tubuh pria tua itu terasa dingin, gemetar. Sebentar kemudian ia merasa dunia mulai menggelap. Dirinya ringan, seperti udara yang hendak dicabut paksa dari dagingnya. Ia mati. Bukan. Ia hanya setengah mati. Antara sadar dan tidak, Erdu berharap kematian cepat datang menjemput. Namun maut enggan memenuhi permintaannya. Erdu tetap tergeletak di lantai batu. Tidak merasakan apa pun selain dingin, ringan, dan basah.

Jika ada seorang yang hendak dipersalahkannya, dia tidak lain adalah Erdu sendiri. Dulu dia meremehkan pesan ayahnya: siapa yang menanam benih, harus makan buahnya juga. Dia hanya yakin pada akal dan kecerdasan. Hal yang mengantarkannya diangkat menjadi Erdu, sang tetua yang menguasai seluruh Hamer. Tetapi tadi pagi, pikiran tajamnya ternyata tak mampu berbuat banyak.

Ketika para Terzien datang, Erdu terpaku di balik jendela kamarnya. Ia melihat orang-orang berjubah kelabu itu masuk melompati pagar batu pendek di pinggir desa. Dalam waktu singkat mereka membantai seratus pemuda Hamer yang mahir berkelahi dengan api, angin, serta lecutan halilintar kecil. Kemudian mereka segera menyerbu ke dalam gua, kecuali satu orang yang ditinggalkan untuk berjaga-jaga di luar. Lalu bunyi letupan berdentum, lenguhan lembu panik, ringkikan kuda ketakutan, jeritan kematian orang-orang, semua terdengar silih berganti. Para penghuni gua Hamer mulai meregang nyawa. Tetapi Erdu mereka, orang yang mestinya melindungi desa, beringsut diam-diam ke sudut kamar untuk bersembunyi. Jika mendengar hal ini, banyak orang akan menganggapnya pengecut. Namun Erdu berkeras bahwa tindakannya itu cerdas. Setiap orang pandai mengenali batasan-batasannya.

Siapa pun tahu, melawan Terzien merupakan tindakan sia-sia. Kekuatan, keganasan, serta kekejaman mereka sudah tersohor di mana-mana. Mereka dapat menciptakan api tanpa kayu atau batu pemantik, mengguncang seluruh gua dengan tangan kosong, memanggil halilintar di pagi hari tanpa hujan – Erdu sudah melihatnya sendiri. Apakah yang dapat dilakukan seorang manusia biasa seperti dirinya untuk menghadapi orang-orang semacam itu? Jadi dengan terpaksa, Erdu harus mengakui kalau ayahnya benar. Ia pernah mengusir para pengelana dari desanya, menghukum mati anak-anak pelayannya, juga merampok hak para gembala dan pedagang asing. Sekarang hari pembalasannya tiba. Para Terzien-lah yang menjadi algojonya.

Rasanya Erdu sudah berbaring di lantai batu selama bertahun-tahun. Ketika ia siap untuk mati, maut malah tidak kunjung datang. Haruskan ia keluar dari kamarnya, menyongsong maut seperti semua orang lain? Delapan belas istrinya sekarang mungkin telah meninggal. Begitu juga delapan puluh anaknya serta cucu-cucunya. Selain mereka masih ada pula sepupu-sepupunya, iparnya, saudara dari pihak ini dan pihak anu. Barangkali hanya Erdu sendiri yang tersisa dari tiga ratus orang yang menghuni gua batu Hamer. Padahal hanya dialah yang menanam benih kejahatan itu. Namun sekarang seluruh keluarganya harus ikut mengalami derita. Ini tidak adil. Benak Erdu memberontak dalam tubuhnya. Saudara-saudaranya tidak pantas mati karena kesalahan yang tidak mereka perbuat. Ia tak dapat menerima hal semacam itu. Ayahnya tentu telah berbuat kesalahan: hukum itu tak pernah ada. Bukan dia yang menyebabkan Hamer luluh lantak, tapi para Terzien. Erdu tidak pantas dipersalahkan. Ia juga tak pantas dihukum.

Rasa panas menjalari ujung-ujung jemarinya, terus meresap sampai ke dalam dada. Sekonyong-konyong pandangan Erdu kembali terang. Ia melihat timbunan berdebu di tengah kamar, busur yang tergeletak di depan wajahnya, pecahan tembikar, juga cahaya merah yang kini menari di dinding batu telanjang. Nafasnya menjadi sesak karena asap. Pria tua itu batuk beberapa kali. Ia menatap tangan kanannya. Jemari cokelatnya kotor kehitaman. Akan tetapi rasanya hangat, dan hidup.

Jari-jari Erdu menegang, menyambar busur di hadapannya lalu memasang panah. Sedikit kepayahan, ia berjuang duduk tegak menghadap pintu. Benaknya berbisik bahwa bahaya tidak datang lewat jendela, namun dari pintu oak yang berdiri di seberang ruangan. Erdu melenturkan busurnya. Otot-otot bahunya berkeriut ketika dipaksa meregang. Ia tidak ingin mati. Dia harus hidup.

Tanpa kemampuan pendengarannya, Erdu tidak dapat memperkirakan mendekatnya bahaya. Ia tak bisa lagi mendengar langkah-langkah halus ringan para Terzien atau kelepak jubah kelabu mereka. Maka yang bisa diharapkannya hanya nasib mujur. Sambil mengawasi pintu yang diam bergeming, Erdu teringat kabar-kabar burung yang biasa dibawa para gembala. Beberapa kisah menceritakan tentang Kanatron, satu-satunya kekuatan yang dapat setanding dengan para Terzien. Mereka juga dikenal dengan nama lain: Para Penjaga Perdamaian dan Pelindung Kaum Lemah. Ajaibnya, menurut cerita mereka tidak pernah datang terlambat, seolah-olah langit yang mengutusnya menyelamatkan orang dari Utusan Kematian. Kini sebagaimana Erdu telah mempercayai keberadaan Terzien, ia pun menaruh keyakinan akan para Kanatron. Mereka pasti datang, mengusir para Terzien lalu menyelamatkan Erdu. Mereka akan datang sebentar lagi, sebelum bahaya menyeruak masuk dari ambang pintu.

Tiba-tiba papan kayu itu bergetar. Erdu menahan nafas. Sesuatu mendobrak pintunya lalu melemparkan diri ke dalam kamar. Bukan Kanatron. Tetapi makhluk hitam legam yang menggelepar sebelum menabrak tumpukan barang di tengah ruangan. Erdu melepas panah. Batang licin runcing itu melintir, menghujam tepat sasaran. Saat makhluk hitam itu menggeliat kesakitan, Erdu baru mengenalinya sebagai seekor kuda kelas satu. Tapi sebelum pria tua itu dapat memasang anak panah lain, bahaya yang sebenarnya sudah datang. Ringan dan cepat seperti angin, orang itu menerobos masuk, melompati bangkai kuda yang lehernya menjulur di antara piala, lalu tumpukan kain tenun. Erdu menyambar sebatang panah. Ia merasa dirinya memekik kencang. Sang Terzien tinggal dua langkah di hadapannya. Erdu menerjang. Anak panah diayunkannya seakan belati. Menyambar, dan menusuk. Lalu tenggorokannya tercekat.

Anak panah Erdu terlontar berputar-putar di udara sebelum jatuh tersangkut di antara piala logam. Sementara pria tua itu berlutut pada kaki kanannya, menatap kosong ke depan, lalu roboh. Kepalanya terkulai miring, tangannya memegang dada. Di antara jemarinya mengalir lelehan merah cerah. Darah segar. Erdu telah mati.

Di manakah Kanatron?


Bab selanjutnya -->