Sabtu, 27 November 2010

Berpikir Ria

Sebenarnya sudah lama aku mau buat blog, tapi nggak tahu mau nulis apa. Jadi sekarang, kuputuskan melakukan kebiasaan aneh para manusia. Menyusahkan diri.

Memang aneh, makhluk yang katanya berotak cerdas dan berakhlak mulia macam kita ini senang menyusahkan diri. Tapi nyatanya, bisa jadi manusialah makhluk yang paling hobby menyiksa diri. Lihat saja, mana ada gajah yang sibuk memikirkan kenapa rumput yang dimakannya berwarna hijau, atau kenapa hidungnya super mancung melambai-lambai dan bukannya pesek seperti hidung babi. Atau kapan kita melihat anjing herder bertanya-tanya kenapa ia nggak mirip dengan "sepupunya" si buldog, atau "tetangganya" si pudel.

Tapi manusia?

Kita sibuk mempertanyakan segala sesuatu. Manusia bukan kucing yang diam-diam saja waktu makan ikan. Kita senang bertanya kenapa ikan punya sirip dan kita nggak, kenapa ikan berenangnya di air sedangkan kucing berjalan di darat. Kita penasaran kenapa buah apel jatuh ke bawah tapi pohon apel tumbuh ke atas. Kita heran kenapa langit berwarna biru waktu siang dan hitam waktu malam. Kita memikirkan segala sesuatu.

Kalau ditanya, memang apa manfaatnya? Kayaknya sih, nggak ada juga. Baiklah, barangkali gara-gara kebanyakan mikir, kita bisa bikin pesawat terbang atau komputer. Kita mampu menciptakan padi tahan hama atau kloning domba. Masalahnya, seberapa penting semua ciptaaan itu untuk hidup manusia? Dengan sok yakin aku bilang, "Nggak penting."

Buktinya kambing bisa tetap hidup enak (oke lah bisa kena macam-macam penyakit, tapi manusia kan penyakitnya lebih banyak) tanpa mikirin gimana cara bikin rumput tahan hama. Rajawali bisa terbang tinggi dan cepat tanpa sibuk ngitung aerodinamika. Kura-kura malah berumur panjang tanpa sibuk mencari obat awet muda.

Jadi mungkin saja, penemuan-penemuan "jenius" kita memang nggak terlalu penting. Toh, semakin banyak penemuan yang dibuat manusia, semakin pendeklah umur kita di bumi. Coba tengok, makin lama penyakit manusia makin banyak. Dulu yang kena stroke cuma orang-orang uzur, sekarang remaja belasan tahun pun nggak luput. Kanker yang dulu kayaknya penyakit "wah banget" sekarang sudah mewabah di mana-mana.

Kita menemukan komputer dan internet yang memudahkan komunikasi seluruh dunia, tapi juga melumpuhkan komunikasi antar manusia. Bukankah dewasa ini banyak orang yang lebih senang berchatting ria di internet (whew, saya banget tuh) daripada ngobrol-ngobrol sama keluarga sendiri? Malahan teman internet bisa segitu dekatnya sampai melarikan anak gadis orang. Makin jenius orang, makin kacaulah dunia.

Nah, kalau begitu kenapa manusia tetap terus berpikir? Itu dia yang jawabannya susah. Barangkali sudah kodratnya. Kayak kata Descartes, "Aku berpikir maka aku ada." Quote yang aneh menurut otak dudud-ku ini, hehehe. Gimana caranya orang bisa berpikir kalau dia nggak ada, ya? Kita harus ada dulu baru bisa berpikir, menurutku. Tapi bisa saja aku yang salah menerjemahkan urutannya. Berpikir maka ada. Ada maka berpikir. Atau malah, berpikir adalah ada? Hehehe. Ah, sudahlah. Itu nggak penting. Yang jelas selama manusia ada, ia akan terus berpikir. Selama ia terus berpikir, maka ia masih ada (muter-muter terus).

Karena itu tentu normal-normal saja kalau aku punya hobby menyusahkan diri. Juga sah-sah saja kalau aku nyampah hasil "penyiksaan" itu di sini. Wajar-wajar saja kalau yang baca ini menganggapku bocah ingusan ngelamak yang sok tahu. Dan boleh-boleh saja kalau aku tetap ngeyel meneruskan nyampahku di sini (ditabok).

Selamat datang di dunia sampah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar