Senin, 31 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -2)


“Terzien menyerang kemari,” sebuah suara rendah bicara. Sebetulnya tidak ditujukan Canmi, tetapi cukup menjawab pertanyaannya.

Lelaki yang berbicara umurnya sudah setengah baya. Wajahnya agak persegi dengan cambang kasar yang mestinya berwarna keemasan namun tampak kini tampak sedikit gelap. Ia mengenakan jubah merah gelap yang tampak semakin suram dalam suasana kelabu. Silang hitam bersudut lancip, lambang para Kanatron, terjahit di dada jubahnya. Bahkan di bawah langit berasap seperti saat ini, pola gugusan Bintang Barat yang terukir halus dalam warna hitamnya masih tampak berkilau redup: sebentar ada, sebentar hilang. Canmi mengenali orang itu. Namanya Selan, seorang Af Larl Kanatron yang juga merupakan atasan kakaknya. Sungguh sebuah kebetulan bertemu dengannya di sini. Tetapi Selan hanya berbicara pada Sketrrer, Canmi sudah lama mereka acuhkan. Bahkan kemudian mereka melangkah menjauh, menjaga jarak enam langkah dari gadis itu.

Ketika empat orang pria datang mendekat untuk bicara dengan Selan, Canmi menjadi semakin tersisih. Ia menyadari empat orang itu bukan bangsa Skoy seperti dirinya. Mereka berkata-kata dalam bahasa lain, bukan bahasa Kanaen yang dikenalnya. Penampilan mereka pun terlihat asing: rambut ikal kemerahan, kulit cokelat, mata hijau sipit, hidung besar yang mancung. Semuanya mengingatkan Canmi pada Esila, rekan kerjanya di Kamar Ramuan Perguruan Kanatron.  Ia menduga orang-orang itu juga bangsa Ravemer, sama seperti Esila. Kalau begitu ternyata dirinya belum juga keluar dari padang Preyar. Selama delapan belas tahun kehidupannya, dunia Canmi dibatasi tembok luar Perguruan Kanatron dan ladang-ladang rumahnya sendiri. Walaupun sejak dulu orang sering menggambarkan luasnya padang Preyar padanya, ia masih tidak dapat membayangkan sampai di mana hamparan rumput ini membentang. Tetapi dia dapat menyimpulkan satu hal: Tanah Beku tentu lebih jauh daripada yang selama ini dibayangkannya.

Keempat pria Ravemer tampaknya memohonkan sesuatu pada Selan. Meski tidak mengerti bahasa orang-orang Preyar, Canmi dapat membacanya dari raut wajah mereka. Kedua alis yang berkerut naik ke atas, mata yang sedikit nanar, dan nada suara yang halus agak serak mengiba memperlihatkan betapa dalam kesedihan mereka. Namun sesekali tatapan keempat lelaki itu terarah penuh curiga kepada Canmi sehingga gadis itu menjadi risih. Barangkali kehadiran seorang perempuan dalam pembicaraan tidak diharapkan orang-orang itu. Maka Canmi memutuskan untuk pergi menjauh. Tapi ketika hendak melangkah, kakinya terantuk sesuatu. Sesosok jenazah. Mayat itu mengenakan jubah kelabu gelap bernoda darah dengan silang putih berujung runcing terjahit pada bagian dadanya. Lambang para Terzien. Pantas saja Canmi dicurigai, jubahnya juga berwarna kelabu meski agak lebih terang. Ketika melihat dirinya sendiri, gadis itu mendapati tanda silang hitamnya tertutup oleh lipatan kain yang kusut. Dirapikannya jubahnya. Mata-mata yang tadi ragu kini terbelalak, lalu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu malu.

Tetapi perhatian Canmi segera tertuju pada sosok Terzien yang tergeletak tak bernyawa di kakinya. Suatu gejolak timbul dalam dadanya. Pria berjubah kelabu itu adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian mengerikan ini. Namun sekarang ia tergolek tak berdaya, terluka dan berdarah-darah seburuk semua jasad lain di tempat ini. Hati Canmi jatuh kasihan, tetapi cepat berubah menjadi jijik, lalu gamang. Terzien itu penjahat, tidak seperti para wanita serta anak-anak tak berdosa yang mereka bantai. Kematian mengerikan mungkin hukuman setimpal bagi kejahatan yang telah dia perbuat. Tapi bagaimanapun, orang itu – dalam keadaannya yang mengenaskan seperti ini – adalah manusia.

Suara tangis seorang perempuan tiba-tiba pecah. Canmi menoleh. Kira-kira ada belasan orang yang tengah berhimpun di hadapan Selan dan kakaknya. Pada bagian terdepan tampak seorang perempuan menarik-narik lengan jubah Selan sambil memohon dalam bahasanya yang asing. Dalam gendongan wanita itu bergelung seorang anak lelaki kecil yang tampak buruk. Dahi kirinya berdarah seperti bekas pukulan benda tumpul, bahu serta lengannya tersayat-sayat, dan perutnya melepuh lembap kemerahan. Namun baik Selan maupun Sketrrer sepertinya tidak mengerti. Mereka menggeleng, lalu mengangkat tangan untuk menolak.

Segera Canmi berlari ke samping kakaknya. Ia melihat anak kecil yang terluka terus menangis lemah kesakitan. Hati gadis itu menjadi iba. Dia mengangkat kepala, memandang kerumunan orang dewasa di hadapannya. Tetapi mereka semua berkulit cokelat, bermata hijau, serta berambut merah, tidak satu pun berasal dari Skoy.

“Ada yang bisa bahasa Kanaen di sini?” tanya Canmi setengah putus asa. Ia ragu orang-orang itu mengerti pertanyaannya. Namun ternyata beberapa orang mendorong seorang pemuda kurus ceking ke barisan depan. Bisa jadi mereka hanya memahami satu kata dari kalimat Canmi: Kanaen, karena bahasa orang-orang Skoy telah lama tersohor di seluruh Shera. Tapi itu sudah cukup meringankan perasaan Canmi.

“Ada yang punya air? Aku perlu air,” katanya pada si pemuda ceking. Orang itu segera berlari pergi. Sementara Canmi meletakkan tangannya di atas perut anak yang terluka.

“Tidak, Canmi!” Sketrrer tiba-tiba mencengkeram bahu adiknya. “Kau tidak bisa melakukan itu. Villen Nopheus tidak boleh digunakan pada orang biasa, Perguruan sudah lama melarang hal itu. Tenaganya tidak akan cukup, kalau kau memaksa –“

Aku seorang tabib.” Canmi berbalik tiba-tiba, menatap Sketrrer tajam. Ia melepaskan diri dengan kasar dari cengkeraman kakaknya. “Aku tahu apa yang kulakukan.”

“Tapi –“

Canmi memalingkan wajah, mengacuhkan Sketrrer. Kalimat pemuda itu pun terhenti di tengah-tengah. Meskipun adat menghormati orang tua mengakar dalam diri orang-orang Skoy, terkadang Canmi tergoda untuk tidak peduli. Baginya Sketrrer terlalu senang ikut campur. Pemuda itu tidak tahu apa-apa tentang ilmu pengobatan. Canmi-lah yang seorang tabib, yang sudah mempelajari ilmu pengobatan para Kanatron selama bertahun-tahun. Bukan kakaknya.

Gadis itu kembali memandang si anak lelaki. Ia memegang lembut bekas luka di perut anak itu. Rasa hangat menggelitik ujung-ujung jemarinya sejenak, lalu mengalir keluar. Perlahan-lahan luka itu tertutup oleh serat-serat putih halus seperti benang, satu per satu lepuh koyak, cairan agak kental meleleh keluar, warna kemerahan menghilang, kulit menjalin dengan kulit. Tangisan si kecil berhenti. Canmi mengusap bekas-bekas lelehan yang menodai perut anak itu. Lalu semua orang terkesiap takjub. Tidak ada lagi luka. Bahkan bekasnya pun tidak.

Terdengar satu orang menggumam pelan di antara kerumunan, kemudian yang lain segera menyusul. Mereka berbicara perlahan bersahut-sahutan sehingga terdengar seperti dengung lebah. Canmi tidak mengerti apa yang dipercakapkan orang-orang itu. Namun ia dapat merasakan kekaguman mereka. Ada rasa bangga menyelip dalam hati kecilnya, apalagi suara kakaknya tidak terdengar lagi. Ia menang. Villen Nopheus dapat digunakan pada orang biasa.

Namun demikian bukan berarti tugasnya telah selesai. Anak kecil yang terluka itu membutuhkan perawatan untuk luka di perut dan lengannya. Canmi menjulurkan lehernya, mencari-cari si pemuda ceking di antara orang-orang. Lelaki bertubuh pendek itu muncul dari salah satu pintu pendek bukit batu, ia berlari kecil mendekat dengan sebuah mangkuk di tangannya.

“Siapa namamu?” tanya Canmi begitu pemuda itu sampai di sisinya.

“Patem,” jawab orang itu lirih. Matanya yang agak lebih lebar dibanding orang Ravemer kebanyakan terus terpaku pada air dalam mangkuknya.

“Tidak adakah tempat yang lebih bersih di sini? Kita tidak bisa merawat anak itu di sini.”

Ketika memandang berkeliling, Canmi mendapati Sketrrer dan Selan tidak terlihat lagi. Ia mendengar Patem menyerukan sesuatu. Kerumunan kembali riuh. Tiga orang tampak menunjuk ke arah bukit, empat orang sibuk mengutarakan pendapat, yang lain mengangguk-angguk. Sepertinya mereka sudah menentukan tempatnya, karena setiap orang mulai bergerak menuju bukit. Seorang ibu bertubuh gemuk dan berwajah bulan purnama menggamit lengan Canmi, menuntunnya mengikuti langkah rombongan menuju salah satu gerbang lengkung pendek yang tidak terlalu besar.

Sembari berjalan, mata Canmi tidak dapat lepas dari Patem. Ia mengamati pemuda itu berjalan agak jauh di depan. Kedua kakinya begitu kurus sampai tulang-tulangnya tampak menonjol, juga agak melengkung ke arah dalam seperti tapal kuda. Walau begitu Patem dapat melangkah cepat sekali. Sebentar kemudian Canmi harus sering berjinjit untuk dapat memastikan keberadaan pemuda itu dalam rombongan. Sekurang-kurangnya dia harus memiliki seorang penerjemah.

Adat bangsa Ravemer sering dianggap tertinggal dibanding orang-orang Skoy. Namun ketika memasuki rumah-bukit-batu, Canmi mendapati dirinya berada di tempat yang menarik. Saat pertama kali menjejakkan kaki di Perguruan Kanatron, ia terpesona melihat tembok batu raksasa yang mengelilingi pegunungan itu. Tetapi yang dilihatnya sekarang ini jauh lebih ajaib. Gadis itu tak pernah membayangkan rasanya tinggal di dalam bukit. Ternyata udaranya hangat, tidak terlalu panas atau dingin, meski sekarang tercemar oleh bau-bauan tak sedap. Orang-orang yang menghuni tempat ini telah memahatnya sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah gua buatan. Lorong-lorongnya banyak, bercabang-cabang dan berliku-liku. Kamar-kamarnya pun banyak, sepertinya setiap beberapa belas langkah sekali Canmi mendapati sebuah pintu. Rumah-bukit-batu benar-benar besar. Entah berapa ratus orang yang dapat tinggal di dalamnya. Barangkali tempat ini lebih tepat disebut desa-bukit-batu.

Mereka berjalan cukup lama. Semakin ke dalam cahaya semakin redup, hingga tinggal remang-remang sisa obor yang menggantung di dinding. Mereka membelok ke kanan, ke kiri, lalu kanan lagi, kiri lagi. Sebentar saja Canmi sudah kehilangan arah. Tapi ia menyadari kalau jumlah rombongannya bertambah. Ada wajah-wajah baru yang ikut menggabungkan diri: laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak – kebanyakan sakit atau membawa orang sakit. Kelihatannya kekuatan Villen Nopheus Canmi sudah tersebar di seluruh desa.

Cahaya alami berangsur-angsur kembali menggantikan nyala redup api obor. Ketika akhirnya berhenti, Canmi menduga dirinya telah berjalan menembus perut bukit. Rombongannya berada di dalam sebuah ruangan segibanyak yang jendela-jendelanya membuka keluar, menampilkan bekas ladang yang hangus kehitaman. Selebihnya tempat itu nyaris kosong, kecuali sebuah meja bundar setinggi lutut yang berdiri di tengah-tengah dan bantal-bantal bulu yang berserakan di salah satu sudut. Walau begitu, para lelaki harus memakai bantal untuk mengusir debu dari atas meja. Baru setelahnya mereka mempersilakan Canmi untuk duduk.

Melepas ransel, duduk di belakang meja, dan melihat puluhan orang berbaris memanjang, membuat Canmi teringat akan hasratnya. Setiap Kanatron dilahirkan sebagai penyelamat dunia. Bukankah itu merupakan cita-cita para pendiri Perguruan? Tetapi ilmu pengobatan Kanatron terlalu dirahasiakan, Villen Nopheus tidak boleh dipakai kepada orang biasa. Bagi Canmi, peraturan semacam itu hanyalah omong kosong ganjil. Bukan hanya sesama Kanatron yang memerlukan pengobatan. Orang-orang awam pun membutuhkannya. Jadi baru sekarang, setelah delapan belas tahun kehidupannya, Canmi merasa sungguh-sungguh menjadi seorang Kanatron.

Ia segera menata lima buah mangkuk kecil, sebuah lumpang dari logam yang ringan beserta alunya, dua buah piring kecil, sebuah kantung kulit, tiga botol perak, dan dua kotak obat hitam di atas meja. Mula-mula Canmi menyelesaikan pengobatan anak lelaki yang sudah diberkahinya dengan sentuhan Villen Nopheus. Disuruhnya Patem memberi anak itu minum. Sedangkan dia sendiri menaburkan bubuk hijau-cokelat yang tersimpan dalam salah satu kotak hitamnya ke atas luka sayat yang menganga di bahu serta lengan si kecil. Kemudian diambilnya salah satu botol perak, dibukanya tutup botol itu, lalu diciumnya. Aromanya pedas. Canmi berhati-hati menuangkan minyak harum tersebut pada luka yang telah dibubuhi bubuk hijau-cokelat. Cukup sedikit saja. Lalu ia membalut lengan dan bahu si kecil dengan kain putih tulang. Sementara luka tumbuk di kepala anak itu disembuhkannya dengan Villen Nopheus..

Kemudian Canmi menangani seorang gadis kecil yang timpang. Bonggol tulang betis anak itu menonjol keluar seperti sebuah benjolan. Lagi-lagi Canmi merasa trenyuh. Ia tak mengerti mengapa Terzien tega melakukan semua ini. Diambilnya botol perak lain yang isinya berbau menyengat seperti bir. Tangan kirinya menghangat saat mengusap dahi si gadis kecil, sementara tangan kanannya segera menuang cairan dalam botol ke atas kaki yang timpang. Canmi menahan nafas.  Benaknya menampilkan citra persendian kaki. Lalu dengan cepat ia menarik betis si gadis kecil, mengembalikan tulangnya ke tempat yang seharusnya. Tidak ada jeritan. Ilmu pemutusan-rasa-sementara Canmi membuat anak perempuan tadi tidak merasa sakit. Si gadis kecil bahkan dapat berdiri, mencium kening orang yang menyembuhkannya, kemudian membunguk hormat sebelum berlari pergi. Canmi tersenyum membalas salam si kecil, namun lubuk hatinya terasa getir.

Semakin banyak orang yang dirawatnya, hati Canmi malah semakin galau. Yang sejak tadi menghampiri mejanya kebanyakan adalah anak-anak serta perempuan-perempuan tua. Tetapi mereka menderita luka-luka yang mengerikan: sayatan panjang yang tipis namun dalam, tusukan benda tajam, luka tumbukan, luka bakar, keracunan, patah tulang. Jika yang mengalaminya adalah para prajurit yang pergi ke medan tempur, barangkali Canmi masih menganggapnya (cukup) wajar. Tapi anak-anak? Ibu-ibu tua? Bisa jadi mereka tidak tahu apa-apa soal urusan para Terzien, apalagi turut ambil bagian di dalamnya. Di Perguruan, Terzien sering disebut sebagai Para Perusak yang jahat dan licik.  Tetapi sekarang Canmi tahu mereka bukan hanya Perusak, lebih buruk dari itu. Mereka bukan manusia. Atau kalaupun mereka manusia, hatinya lebih busuk daripada binatang-binatang hutan. Benarlah kata Guru Besar, orang-orang itu akan membawa bayang-bayang kegelapan meliputi seluruh Shera. Kanatron harus segera menghentikan mereka. Canmi jadi teringat akan tugasnya. Kini ia yakin tugas itu benar-benar penting.

Lamunannya buyar. Suasana tahu-tahu menjadi riuh. Ketika mengangkat kepala, Canmi melihat seorang pria bertubuh besar telah berdiri di ambang pintu. Orang itu membungkuk, menopang tubuhnya ke tiang pintu sebelah kiri sambil terengah-engah mengatur nafas. Lelaki itu mengatakan sesuatu. Suaranya serak, tertahan, tapi cukup keras. Kemudian semua orang saling bicara. Canmi dapat melihat kesedihan di mata pria yang di pintu itu. Ia menduga orang itu adalah pembawa kabar, dan  yang disampaikannya pastilah buruk karena semua menjadi muram. Beberapa lelaki yang berada di barisan paling belakang tampaknya menanyakan sesuatu pada si pembawa berita. Pria besar di pintu itu menggeleng, mengucapkan sesuatu dengan lemah. Sebuah kalimat pendek. Lalu setiap orang membelalakkan mata. Patem yang berdiri di samping Canmi menjatuhkan mangkuknya.

“Apa yang terjadi?” bisik Canmi. Ia merasa ketakutan merambati punggung tangannya.

“Erdu,” ucap Patem seperti orang hampir menangis. “Erdu telah mati.”

Lalu hening. Kemuraman meliputi seluruh ruangan. Semua orang berhenti bekerja, berlutut, menengadah, kemudian melantunkan nada. Lelaki memulai dengan suara rendah dan suram. Lalu wanita dan anak-anak menyahut dalam nada yang lebih tinggi. Segera suara mereka berpadu menjadi nyanyian sendu dalam nada-nada monoton lambat yang berulang-ulang, menggaung ke seluruh sendi-sendi gua. Sayup-sayup dari jauh, terdengarlah sebuah balasan: nyanyian yang sama, nada yang sama. Dan seluruh gua seakan menggemakan lagu yang sama. Sendu, tenang, khidmat, suram.

Lagu kematian.

Selanjutnya -->

2 komentar:

  1. udah baca sampai sini, mumpung belum ada kerjaan :p
    cara terbangnya dijelasin detail, keren :D
    hoo, di sini erdu disebut2 lagi, bagus2.
    kapan2 kulanjutin lagi..

    BalasHapus
  2. Thaanksss XD
    kayaknya orang programming emang pada nganggur2 ya
    enak bangeutzzz ><

    iya, erdu disebutin lagi di sini
    tapi tetep aja ga lebih banyak dari pemeran figuran numpang lewat ><
    semoga dia punya peran anumerta nanti2nya (mungkin) XD
    thanks kk
    met kerja

    BalasHapus