Senin, 31 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -4)


Sketrrer melompati gerigi batu kecil yang mencuat pada lantai terowongan utama Hamer yang tidak rata. Ia berhenti bermain-main dengan angannya, kembali menatap kenyataan. Apa yang sudah berlalu tidak dapat diulang lagi. Perintah baginya untuk mencari dua puluh Kunci sudah diberikan. Tak bisa ditarik lagi. Ia juga tidak dapat mundur, kecuali hendak menanggung malu karena pulang ke Perguruan dengan tangan hampa. Jadi yang dapat dilakukannya sekarang hanya terus berjalan. Menyelesaikan tugas-tak-masuk-akal ini secepat mungkin.

Akan tetapi barangkali Sketrrer memang tidak mujur. Ia terperangkap kebaikan hatinya sendiri untuk memeriksa tanda asap. Hasilnya kini dirinya terjebak di desa Hamer yang terpencil, lebih dari seratus mil melenceng dari arah yang ingin ditempuhnya ke Timur Laut. Selain itu orang-orang di sini juga tampak kurang beradab. Mereka tidak paham apa-apa soal Terzien. Apalagi Kunci-kunci – mustahil.

Bukti ketidakberadaban orang-orang Preyar dapat dilihat dari tempat ini. Terowongan dipahat sekenanya saja pada bukit batu. Jalanan tidak rata, dinding kasar bergerigi, atap berlubang penuh lumut, serta bilik-bilik yang bersegi banyak tanpa kursi atau dipan sama sekali. Tanpa penyerangan para Terzien sekalipun, sulit membayangkan gua ini lebih baik dibanding saluran air bawah tanah Perguruan Kanatron.

“Aku masih tidak mengerti,” kata Sketrrer akhirnya. Ia mengernyit melihat jamur ikut tumbuh pada bingkai jendela yang terkena matahari dari sebuah bilik kecil di sebelah kiri lorong. Gerumbul payung putih-cokelat lebar-lebar itu tentu terlalu kecil untuk dilihat Selan yang berjalan tiga langkah di depan, namun mata Sketrrer jauh lebih tajam dari kebanyakan orang.

“Mengapa mereka membangun rumah di dalam gua seperti orang purba? Masih banyak tempat lain yang lebih baik untuk membuat rumah dibanding gua pengap macam ini,” lanjutnya.

“Kalau kau sedikit memperhatikan ilmu budaya dasar dulu, kau pasti tahu semua orang Preyar membuat rumahnya di dalam gua,” Selan menyahut cepat.

“Orang-orang di Utara sana juga?” Sketrrer mengangkat kedua alisnya. Ia kerap mendengar kabar bahwa orang Ehuor memiliki kota terindah di padang Preyar. Tetapi bayangan itu segera lenyap, berganti gua batu berlubang-lubang mirip penjara.

“Ya, tentu saja.” Ada rasa tidak suka dalam suara Selan. Pria gempal setengah baya yang agak pendek itu mempercepat langkah. “Tapi jangan bayangkan kota mereka seperti gua Hamer ini. Kotanya bertingkat delapan, dindingnya dipahat halus, tiangnya berukir rumit. Jauh lebih bagus daripada bangunan-bangunan Skoy kalian.”

“Oh, ya?” gumam Sketrrer sambil mengedikkan bahu. Ia tahu selama ratusan tahun kebudayaan Skoy telah menunjukkan keagungannya, yang paling beradab di antara bangsa-bangsa. Jadi nada sumbang dalam kalimat atasannya tadi pasti disebabkan iri hati – Selan berasal dari negeri bangsa Elesi yang terkucil di balik Gurun Besar Jingga.

Setelah itu keduanya berjalan dalam diam hingga gerbang utama yang lebar dan rendah menampakkan diri di ujung lorong. Sinar matahari berhasil mengalahkan tirai asap, menerobos masuk hingga membuat mulut gerbang berkilau putih. Saat berhenti di ambang gerbang, Sketrrer mengerjap beberapa kali. Kembalinya cahaya membuatnya tidak nyaman untuk sesaat. Namun begitu membuka mata, ia mendapati warna-warna telah kembali.

Lantai batu di bawah kakinya berwarna kelabu gelap. Tapi hanya selangkah di depannya tanah berubah cokelat. Rerumputan serta semak-semak terbakar hangus meninggalkan jejak kehitaman. Lebih gelap di sekitar gua, tetapi berubah kecokelatan pasir ketika mendekati pagar batu yang mengelilingi desa. Di luar pagar setinggi leher tersebut rumput Preyar menghijau muda, menyelimuti lereng sampai ke kaki langit. Sementara di atasnya cakrawala menggantung putih. Sobekan  awan hitam tercerai di sana-sini, tanda sisa-sisa asap.

Saat menatap pagar batu seratus meter di hadapannya, Sketrrer mendapati semacam ironi. Pagar tersebut melindungi seluruh padang dari kobaran api yang menggila, namun mengurung semua orang yang berlindung di dalam bukit batu Hamer. Seperti tikus yang mati dalam sarangnya sendiri. Malahan sepertinya hewan ternaklah yang bernasib lebih baik. Dari antara ratusan mayat yang bergelimpangan di sekitar lembah, sebagian besar ialah jenazah manusia. Mungkin binatang-binatang itu lari lebih cepat saat Terzien datang. Selan mengaku bersilang jalan dengan sekelompok kuda yang lari pontang-panting ke arah padang.

Tetapi mengesampingkan seluruh kemalangan tersebut, sebenarnya Hamer masih diliputi keberuntungan. Terzien menyerang saat musim semi baru dimulai sehingga rumput-rumput cukup basah untuk menahan api. Andaikan ini terjadi pada musim panas, baik Sketrrer atau Selan, maupun para Terzien sendiri, akan sulit menghentikan amukan api.

 “Tidakkah kau merasa serangan ini aneh?” tanya Selan setelah lama sunyi. “Terzien tidak biasanya menghancurkan satu desa.”

 “Mereka mencari sesuatu, kata orang. Semacam rampasan perang atau semacamnya,” jawab Sketrrer, masih memperhatikan pagar batu di kejauhan.

“Aku tidak yakin mereka mau menghancurkan sebuah desa hanya untuk mencari barang itu.”

 “Menurutmu mengapa mereka melakukannya?” Sketrrer balik bertanya. Dari sudut mata ia melihat Selan berdiri selengan di sebelah kirinya. “Kelihatannya barang itu cuma bungkusnya saja. Mereka mungkin punya dendam pribadi, mau membungkam seseorang, memamerkan kekuatan – Kudengar Terzien berusaha mencari sekutu dari Ehuor.”

“Aku tidak tahu apa alasan pastinya. Tapi mestinya kita punya petunjuk.”

“Apa itu?” Kali ini Sketrrer berpaling pada Selan. Atasannya itu harus mendongak sedikit ketika mereka bertemu pandang karena tubuh Sketrrer yang jangkung.

“Seorang Terzien,” jawab Selan sembari menyipitkan mata. “Dua belas atau tiga belas tahun. Laki-laki. Dia tahu tentang hal ini dan semestinya tahu lebih banyak lagi.”

“Dan di mana dia?”

“Dia hilang.” Selan mengangkat bahu.

“Apa?” Serta-merta mata Sketrrer membelalak lebar. “Bagaimana kau bisa melepaskan petunjuk seperti itu?”

“Aku sudah menghentikannya dengan Nopheus Kirgazs. Dia tidak akan bisa lagi memakai kekuatannya.”

“Nah, kenapa tidak sekalian saja kau bunuh dia?”

“Jarakku terlalu jauh waktu itu. Tapi dapat kupastikan dia aman.”

“Dia bisa kembali ke Teritorial Terzien dan meminta bantuan di sana!” geram Sketrrer kesal. Ia memalingkan wajah sambil mendecap-decap. Mengapa atasannya dapat bersikap seceroboh itu?

Namun Selan hanya berkata datar, “Terzien tidak akan menerimanya tanpa kekuatannya. Kalau kembali ke sana dia sama saja mati. Ini keuntungan kita. Selama ini penjara kita hampir selalu kosong. Terzien terlalu lihai membebaskan diri sehingga kita lebih sering langsung membunuh mereka. Kalaupun ada yang tertangkap, semuanya Terzien kelas rendahan yang tidak tahu apa-apa soal rencana atasan mereka selain mengenyangkan perut mereka sendiri. Kita butuh keterangan, itulah yang tidak kita dapatkan selama ini.”

“Jadi apa yang kau harapkan dari Terzien itu?” Sketrrer memicingkan mata. Seorang bocah Terzien yang tertangkap tampaknya tidak lebih baik daripada empat tahanan yang sudah mulai berlumut di penjara Perguruan.

“Keterangan, tentu saja,” ujar Af Larl-nya. “Orang yang datang kemari sekitar dua puluh orang. Itu berarti pemimpin mereka sekurangnya seorang Herkhan.”

“Hanya orang gila yang mengangkat bocah dua belas tahun menjadi Herkhan,” dengus Sketrrer sambil berkacak pinggang. Kemudian dipalingkanya wajah memandang tanah. Dirinya sendiri, yang dianggap banyak orang sangat berbakat, baru menjadi Herkhan di usia tujuh belas – dua tahun setelah upacara kedewasaannya.

“Mereka Terzien. Bukan Kanatron. Kalau mereka mau mengangkat bayi menjadi Herkhan itu urusan mereka. Yang jelas aku mendengar sendiri orang-orang memanggilnya Herkhan.”

“Jadi apa yang kau inginkan?” Sekali lagi Sketrrer berpaling pada atasannya. “Kau mau aku mencarinya di padang Preyar ini? Tidak bisa. Aku masih punya tugas konyol itu.”

“Aku hanya berkata: kalau kau bertemu dengannya, jangan lepaskan!” Selan mengucapkan kata terakhirnya lambat-lambat, lalu melanjutkan, “Kita bisa memberinya penawaran dan ia akan jadi keuntungan bagi Perguruan.”

Sejenak ketika atasannya berhenti bicara, Sketrrer mengaku dalam hati bahwa ia lebih senang mencari si bocah Terzien. Tetapi pemuda itu tidak berkata apa-apa. Ia berdiri diam menatap langit, sampai Af Larl-nya memulai pembicaraan lagi.

“Tugasmu itu, bagaimana kabarnya?” tanya Selan dengan suara rendah.

“Empat puluh hari tanpa hasil. Si tua Guru Besar itu pasti sudah mulai gila,” jawab Sketrrer. Ketika melirik ke kiri sebentar, ia melihat pria berambut keeemasan di sebelahnya itu ikut memandang langit.

“Kau pasti dihukum kalau ucapanmu tadi sampai ke telinganya. Tidak peduli kau putra Kezser atau bukan.”

“Silakan saja. Aku malah ingin cepat pulang dan mencabut alis ubanannya itu. Aku masih tidak mengerti mengapa dia harus mengutusku. Dan Canmi?”

“Keras kepala dan sulit diatur seperti biasanya.”

“Kalau begitu kau juga ikut bersekongkol dengan si tua. Ini gila. Aku bisa mengerti kalau rencananya masuk akal. Tapi dia menyuruhku mencari dongeng omong kosong.”

“Jadi mengapa kau tidak menerima saja tantangan Guru Besar waktu itu? Kau sendiri juga tidak yakin dengan hasil pemikiranmu, bukan?”

Sketrrer tak perlu menoleh untuk merasakan tatapan Selan menghujam samping kepalanya. Pemuda itu menggertak gigi. Otot-otot jarinya berkedut, lalu menegang. Mendadak ia menendang tanah, menghamburkan debu cokelat ke udara. Namun tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Akhirnya Selan berkata, “Aku harus pergi sekarang. Ada kabar dari Celah Irid yang harus segera kusampaikan ke Perguruan. Kalau bukan karena asap dan semua kejadian ini, pasti aku sudah berjalan cukup jauh sekarang. Katakan pada orang-orang desa, aku akan meminta bantuan raja-raja kota Skoy untuk mereka. Tapi lebih baik lagi jika mereka sendiri berusaha mencari bantuan dari desa tetangga. Nah, selamat tinggal, Sketrrer.”

Af Larl berjubah merah itu menimbulkan bunyi tumbuk halus saat melompat ke tanah hangus. Ia sudah hendak berlari pergi, tapi “Tunggu!”, seruan Sketrrer menghentikan langkahnya.

Sketrrer memandang Selan yang berhenti tiga langkah dari ambang gua. Setengah suara, ia berkata pada atasannya, “Tentang itu. Kau tidak punya kabar apa-apa?”

“Sayangnya tidak,” jawab Selan singkat. Lalu ia berbalik seraya berseru, “Semoga bintang-bintang menyinari jalanmu, putra Kezser!”

Dan, seperti lari kuda-kuda ksatria yang tangkas, pria itu menyeberangi lembah menuju lereng hijau. Saat melompati pagar batu, jubah merahnya terangkat berkibar, memperlihatkan pedang kembar berkilau ketembagaan yang tergantung pada pinggangnya. Lalu sosok sang Af Larl semakin kecil, dan semakin kecil. Hingga hilang sama sekali di batas kaki langit.

Sketrrer mengawasi kepergian atasannya. Kemudian ia berbalik ke kiri dan segera memacu langkahnya. Pada waktu membantu penduduk desa memadamkan api bersama Selan, dia sempat melihat Canmi memberi pengobatan dalam salah satu bilik di Timur desa. Walaupun dalam hati Sketrrer khawatir adiknya terlalu banyak menghamburkan ramuan, ia tidak dapat berbuat apa-apa karena dirinya sendiri sibuk meredakan api. Namun kini pekerjaannya sudah selesai. Dia hanya ingin meninggalkan Hamer secepat mungkin. Maka Sketrrer berlari kencang, menyusuri kaki bukit batu ke arah Timur.

Ruangan tempat Canmi berada terletak pada sebuah sudut kaki bukit yang agak menjorok keluar. Dari jendela perseginya yang banyak, Sketrrer dapat melihat Canmi sudah tidak lagi memberi pengobatan. Gadis itu sedang bermain tepuk tangan dengan dua anak kecil. Selain mereka hanya ada empat orang lain: dua wanita tua, anak muda ceking yang dapat berbahasa Kanaen, serta seorang pria tinggi besar yang rambutnya berkuncir kecil.

Ketika Sketrrer sampai di depan pintu bilik yang telah hancur, si lelaki berkuncir segera bangun dari duduknya dan mendekat. Ia membungkuk dua kali, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa ibunya, Preyarem. Sketrer mengernyitkan dahi tidak mengerti. Bahasa orang-orang Ravemer yang diketahuinya hanya beberapa kata makian yang diajarkan Fetana, rekannya di Perguruan Kanatron. Pemuda itu hendak mengangkat bahu, tapi dilihatnya si kurus bergegas bangkit untuk menawarkan bantuan.

“Dia anak Erdu,” kata anak muda ceking itu setelah membungkukkan badan dua kali. “Dia mau terima kasih kamu sudah selamatkan kami,” lanjutnya terpatah-patah.

“Tidak usah,” kata Sketrrer menahan geli. Mendengar seorang lelaki kurus belasan tahun yang bicara dengan tata bahasa kacau mengingatkannya pada gelandangan di kota-kota Skoy. “Sudah kewajiban kami para Kanatron untuk melindungi orang lain. Kalian tidak perlu berterima kasih. Tetapi kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Ada tugas lain yang harus kukerjakan.”

Ia menatap Canmi yang tampak sedikit termangu dan merengut. Ditelengkannya kepala sedikit ke kiri untuk memberi tanda. Sketrrer puas melihat adiknya segera memanggul ransel dan menengenakan jubah. Kemudian dia kembali berpaling memandang pria berkuncir serta si kurus bergantian.

“Temanku sedang dalam perjalanan ke Skoy,” ujarnya lagi. “Dia akan memberitahu raja-raja kota di sana untuk memberi bantuan kemari. Tapi sebaiknya kalian juga mencari bantuan dari desa-desa tetangga.” Bagian terakhir dikatakannya ragu-ragu. Karena matanya yang tajam tidak melihat tanda-tanda hunian lain di sekitar Hamer, dia menduga memang tidak ada desa lain di sekitar sini, sekurangnya dalam jarak lima puluh mil.

Sketrrer menunggu si kurus menerjemahkan ucapannya untuk putra Erdu sembari mengawasi adiknya. Canmi memeluk setiap anak dan perempuan, mencium pipi mereka, baru setelah itu bergabung di sisi kakaknya. Kemudian si lelaki berkuncir berbicara lagi.

“Kamu tidak mau diantar?” Si kurus mengartikannya.

“Tidak usah. Kami pergi sekarang,” jawab Sketrrer. “Semoga bintang-bintang menerangi desa kalian.”

Ia mendengar Canmi mengulangi kalimat terakhirnya sebagai salam perpisahan, sang putra Erdu sepertinya mengatakan sesuatu. Ada senyap sesaat. Lalu anak-anak berlutut, diikuti para wanita, si kurus, dan putra Erdu sendiri. Pria yang memiliki kuncir bicara lagi. Dan keenam orang itu bersujud. Bulu tengkuk Sketrrer berdiri. Segera ditariknya lengan Canmi, lalu berbalik, berjalan menjauh secepat mungkin. Di belakang punggung mereka suara enam orang mulai berpadu menjadi sebuah nyanyian lain. Nadanya berulang-ulang: meninggi, merendah, meninggi, merendah. Sambil terus melangkah, Sketrrer menajamkan telinganya untuk menangkap kalimat yang diucapkan orang-orang itu. Ia berencana menanyakannya nanti pada Fetana, jika mereka bertemu kembali di Perguruan Kanatron.

Lantunan yang didengarnya kira-kira seperti ini, “Atana fel amanelo zi, imafeninala atevi preyar.”

Ketika itu, Sketrrer hanya memahaminya sebagai tanda perpisahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar