Senin, 31 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -3)


 *****

Selagi berjalan di lorong utama Hamer yang lebar dan sepi, benak Sketrrer menjelajah jauh. Kabar kematian Erdu telah disebar, lantunan kematian masih menggaung samar, namun tidak ada orang lain di terowongan itu, kecuali dirinya dan Selan. Udara terasa pengap dan hangat di kulitnya, begitu mirip dengan saat itu. Kejadian tersebut sudah lewat empat puluh tujuh hari lamanya. Tetapi kenangan terhadapnya masih tertanam jelas dalam ingatan Sketrrer.

Fajar akhir musim dingin menyingsing pucat ketika Sketrrer menjadi tamu dalam ruang duduk pribadi Guru Besar Kanatron Keempat. Mereka berdua saja. Duduk berhadap-hadapan, dipisahkan meja walnut persegi panjang. Di atas meja, tepat di tengah, berdiri sebuah kandil dari perunggu yang menopang tiga lilin menyala. Selain itu, permukaan meja hitam polos tanpa hiasan apa-apa lagi. Sketrrer duduk tegak di kursinya yang empuk bersandaran tinggi. Mata biru gelapnya yang tajam menatap lekat sosok lelaki tua di hadapannya.

Guru Besar tampak tenang. Kedua bahunya yang kekar terbuka lebar, menampilkan dada yang bidang. Walaupun wajah cokelat kemerahannya mulai dimakan keriput usia, kakek itu tetap terlihat gagah. Seakan laju penuaannya terhenti pada umur lima puluh. Atau setidaknya, begitu dugaan Sketrrer. Sepanjang ingatan pemuda itu, wajah sang Guru tidak pernah berubah.  Itu lebih membuat Sketrrer kesal dalam banyak hal. Menurutnya, Guru Besar terlalu panjang umur, terlalu banyak lagak, dan – terutama – terlalu banyak bicara.

Pertemuan mereka pada hari itu dimulai dengan sebuah pertanyaan singkat dari sang Guru, “Bagaimana perkembangan keadaan di Utara?”

Setengah berharap pembicaraan ini selesai sebelum tengah hari, Sketrrer menjawab cepat, “Tidak terlalu baik. Aku belum pernah ke sana, cuma mendengar kabar saja. Perundingan dengan para Erdu dari Ehuor tersendat. Mereka tidak mau bekerja sama dengan Perguruan bahkan cenderung menarik diri. Beberapa orang bilang Terzien mulai menyebar pengaruh di sana.”

“Anda memanggilku untuk minta nasehat, Guru?” tambahnya setelah diam sejenak.

“Kalau benar begitu, apa pendapatmu?” Guru Besar balik bertanya.

Masih setengah tak percaya, Sketrrer menduga kakek tua itu hanya ingin menguji pengamatannya saja. Adalah hal yang aneh jika Guru Besar Keempat sungguh meminta nasehat orang lain. Tetapi kesempatan seperti ini terlalu sayang untuk disia-siakan. Sketrrer memiliki beberapa keberatan serta pandangan lain mengenai keputusan-keputusan sang Guru. Maka dengan hati-hati ia mulai mengutarakan pendapatnya.

“Terzien mulai menggeliat dari tidur, tapi bukan untuk perang. Belakangan ini mereka keluar berkelompok kecil-kecil, menyerang rombongan pedagang atau merampok desa-desa kecil. Kabar dari orang-orang kita mengatakan kalau mereka sudah punya hubungan dagang dengan bangsa Ehuor dan Oshtogar yang memang bukan sekutu kita. Tapi yang diperdagangkan lebih sering remeh-temeh. Misalnya susu, gandum, kerajinan logam, buah-buahan, domba, kambing, dan semacam itulah. Tidak pernah kedengaran senjata atau alat-alat perang lain. Ditambah lagi mereka sedang menjalin perundingan dengan orang Ehuor, sepertinya untuk meningkatkan perdagangan. Jadi semua itu berdasarkan motif keuangan, bukan perang. Malahan mereka cenderung menghindari jalur patroli orang-orang kita. Kalaupun bertemu, mereka memilih untuk menghindar sebelum tertangkap – aku pernah melihatnya sendiri. Menurutku, Terzien yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Mereka lebih jinak. Sudah bosan dengan segala macam perang melawan Kanatron, sepertinya. Terzien sudah berada dalam daerah nyamannya. Jadi kupikir, kita menunggu terlalu lama. Kalau ada kesempatan untuk menghancurkan Para Perusak itu sampai ke akar-akarnya, sekaranglah itu. Bukankah semua persiapan untuk Rencana Pembersihan sudah selesai? Kalau menunggu lebih lama lagi bisa-bisa para bajingan itu malah pulih sepenuhnya.”

 “Aku mengerti,” kata Guru Besar.

Sejenak Sketrrer merasa semangatnya melonjak naik. Ia telah membeberkan sejumlah bukti nyata yang penting, dan pendapatnya tidak keluar dari jalan pikiran yang sehat. Yang dikatakannya ialah demi kejayaan Perguruan, jadi dia berharap Guru Besar menerima pandangannya.

Tetapi kakek tua itu malah berkata, “Dasar kolam selalu kelihatan lebih pendek dari yang sesungguhnya, Sketrrer putra Kezser. Kau bisa mengamati riak yang timbul di permukaan sungai tapi bukan arus yang ada di bawahnya. Menggantungkan pemahaman pada salah satu ujung rantai adalah sangat berbahaya. Siapa pun tahu pemerintahan Guru Besar Kanatron Kedua ratusan tahun lalu tenang dan damai. Bisa dikatakan itulah masa kejayaan Perguruan Kanatron. Tetapi dua ratus orang itu memberontak pada masanya. Ah, ya! Hanya dua ratus! Apa yang dapat mereka lakukan? Sedangkan jumlah kita lebih dari seribu. Tapi sulit memperkirakan kekuatan sesuatu dari tampaknya. Ranting kering kelihatan tebal dan kokoh, tapi pisau dapur bisa memotongnya dengan mudah. Bambu halus kelihatan rapuh, tapi hanya orang terlatih yang bisa memotongnya dengan pedang.”

“Ya, ya. Dua ratus orang itu akhirnya mendirikan Terzien yang menjadi musuh terbesar kita sampai sekarang ini.”

“Kurasa ayahmu sudah mengajarkan adat sopan-santun padamu: jangan pernah memotong pembicaraan orang yang lebih tua! Aku belum selesai bicara,” tegur sang Guru tajam.

“Baiklah, tapi kuharap kita langsung ke intinya saja,” kata Sketrrer sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa semakin tua seseorang semakin banyak pula bicaranya. “Kenapa Anda memanggilku ke sini? Tidak hanya untuk meminta nasehat, bukan?”

“Tentu saja tidak. Tapi kau membutuhkan pemahaman sebelum menjalankan tugasmu.”

“Jadi Anda memang tidak mau menerima pendapat orang. Kelihatannya Anda masih punya ketakutan-tak-masuk-akal itu.”

“Nah, jadi bagaimana yang masuk-akal itu menurutmu?”

“Aku sudah mengatakannya: Terzien-Terzien itu sekarang masih lemah!” seru Sketrrer tidak sabar. “Sejak mereka kalah dalam Perang Kanatron enam puluh enam tahun lalu, kekuatan mereka sudah hampir hancur sepenuhnya. Kalau aku tidak salah, cuma sedikit para Terzien yang kabur dari perang itu. Lebih sedikit lagi yang sampai dengan selamat di Pegunungan Timur sebelum dihajar oleh orang-orang kita. Memang selama empat puluh tahun belakangan ini mereka kelihatan mulai bangkit. Tapi bukan berarti bertambah kuat. Lebih lemah malahan. Buktinya, serangan mereka semakin tidak terarah. Mereka sudah tidak punya semangat lagi untuk menghancurkan Kanatron. Mustahil mereka dapat menjadi sekuat zaman Guru Besar Ketiga dulu, sebelum Perang Kanatron. Setidaknya untuk lima tahun ke depan, aku menyimpulkan mereka belum siap.”

 “Bagaimana cara kau mengetahui kekuatan mereka sekarang ini?” tanya sang Guru lagi. “Kita tidak punya keterangan apa pun tentang Terzien, sejak mereka bersembunyi di Pegunungan Timur setelah Perang Kanatron berakhir.”

“Aku tidak punya bukti tertulis tentang itu. Tapi kita bisa menduga. Melihat jumlah Terzien yang berkeliaran, cara mereka melakukan serangan, sasaran serangan, arah kebijakan mereka, cara mereka menghindari orang-orang kita: itu jelas-jelas kemunduran!”

“Sekalipun aku tidak melihat seorang Terzien pun berkeliaran di dunia luar dalam lima puluh tahun, aku tetap percaya mereka menyembunyikan kekuatan yang jauh lebih besar.”

“Omong kosong!” geram Sketrrer. “Kita tidak bisa menduga arus di dalam sungai tanpa mempertimbangkan riak di atasnya juga! Anda mengabaikan semua kenyataan untuk mendukung ketakutan Anda sendiri.”

“Bukankah kau juga tidak memiliki bukti?” sahut Guru Besar. “Jadi mengapa aku harus mempercayai dugaanmu? Jika kau yakin dengan gagasanmu, mengapa tidak kau coba? Berikan padaku keterangan jelas mengenai peta kekuatan terbaru Terzien! Mungkin aku akan berubah pikiran. Bawalah pasukanmu sekalian. Aku bisa memberimu waktu tiga bulan.”

Tepat setelah itu Sketrrer duduk membisu. Benaknya menolak jalan pemikiran Guru Besar Keempat, namun ia tahu perintah kakek itu bukan untuk dibantah.

Bagaimanapun, Guru Besar memiliki reputasi langka. Meski pemikirannya sering dianggap janggal, pendapatnya sering terlalu mengada-ada, serta kesimpulan yang diambilnya sering bertentangan dengan bukti nyata, dugaannya selalu tepat. Seolah-olah ia memiliki antena seperti kecoa, yang tidak pernah mengecewakannya dalam menemukan kebenaran.

Sudah banyak orang yang membuktikan hal ini. Salah satunya seorang muda cerdas yang menjadi Socken Larl sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Sama seperti Sketrrer, ia juga bersilang pendapat dengan sang Guru. Akan tetapi, didorong oleh keyakinannya yang kuat akan pengamatannya dan tanggung jawab besar untuk menghindarkan Perguruan dari kekeliruan-yang-tak-masuk-akal, Socken Larl tersebut menerima tantangan Guru Besar. Kelanjutan kisahnya dapat ditebak: ia segera menyadari kesalahannya dan mengakui ketepatan dugaan-dugaan sang Guru.

Walaupun sesungguhnya Sketrrer cenderung mengacuhkan cerita semacam ini, dia memilih berhati-hati. Harga dirinya dirasa terlalu besar untuk dipertaruhkan. Jika rencana yang diutarakannya ternyata gagal, tentu namanya sebagai Herkhan terbaik akan tercoreng-moreng. Jadi, ia memutuskan untuk berdiam diri.

“Nah, kalau kau  tidak memiliki gagasan yang lebih baik, mengapa kau tidak mencoba membuka telinga terhadap pemikiran lain?” ujar Guru Besar berusaha memulai pembicaraan lagi. Sketrrer ingat benar, ketika itu fajar sudah berlalu dan matahari beranjak tinggi.

“Terzien tidak pernah tidur!” kata sang Guru. “Tidak sebelum Perang Kanatron, tidak ketika mereka menghilang dari dunia luar selama empat puluh tahun, tidak juga sekarang. Mereka menunggu. Seperti serigala tua lapar menanti mangsanya yang paling lemah. Dan, serigala itu sudah hampir berhasil menerkam kita pada Perang Kanatron, enam puluh tahun lalu. Kalau kau memperhatikan pelajaran sejarahmu dulu lebih baik, kau pasti ingat Guru Besar Ketiga terbunuh dalam perang itu. Dan jika bukan karena mereka tiba-tiba saja mengundurkan diri ke pegunungan, strategi kita tidak akan pernah berhasil – aku salah satu dari para pejabat tinggi yang menyusun strategi itu, jangan lupa. Lagipula, aku tidak ingat kita pernah menghancurkan tempat persembunyian mereka di Pegunungan Timur, kalau mereka memang benar-benar lemah seperti katamu.”

“Tentu saja tidak pernah. Kita lebih senang menunggu, bukan,” gerutu Sketrrer pelan.

“Ini kedua kalinya aku mengingatkanmu, Sketrrer putra Kezser!” sergah Guru Besar.

Kakek itu berhenti sesaat sebelum melanjutkan, “Ah, kita menunggu seperti singa muda. Tapi perang sudah dekat! Hatiku mengatakan, perang sudah di ambang pintu. Ini buruk. Berperang tanpa pengetahuan mengenai musuh adalah sia-sia. Para Terzien tahu segalanya tentang kita: benteng-benteng kita, desa-desa kita, jumlah pasukan kita, persenjataan kita. Sebaliknya, tentang mereka, kita tidak tahu apa-apa. Padahal kesempatan kita untuk menang hanya sekali saja. Jika enam puluh enam tahun yang lalu mereka hampir berhasil mengalahkan kita, kali ini mereka bisa benar-benar menghancurkan kita. Dan seluruh dunia akan tenggelam bersama kita, dalam bayang-bayang kelam kekuasaan para Terzien.”

“Jadi apa yang mau kita lakukan sekarang?” sahut Sketrrer cepat. “Duduk-duduk di sini tanpa mencoba untuk menyerang lebih dulu?”

“Tidak, kita tidak dapat melakukan itu. Menyerang tanpa mengetahui kekuatan musuh sama saja bunuh diri! Tetapi jika kita memiliki kekuatan yang cukup besar: lebih besar daripada kekuatan seluruh Perguruan Kanatron, lebih besar daripada kekuatan Para Penguasa, lebih besar daripada kekuatan terbesar yang dapat dicapai oleh para Terzien – maka kemenangan pasti berada di tangan kita.”

Apa yang dikatakan Guru Besar itu berhasil membuat bulu kuduk Sketrrer merinding. “Anda bicara soal kekuatan yang tidak terhingga, Guru.”

“Katamu itu tepat sekali.”

“Tapi di mana kita bisa memperoleh kekuatan macam itu?”

“Kunci-kunci Kanatron.”

“Ha!” Sketrrer melonjak berdiri. “Kau gila? Aku sudah cukup sabar mendengarmu, tapi –“

“Jaga mulutmu atau kuhukum kau, putra Kezser atau bukan!”

“Tidak dongeng-dongeng itu! Apa-apaan! Aku – “

“Kataku: diam!”

Sunyi sebentar. Sketrrer yakin saat itu ia berdiri kaku. Kenangan akan rasa panas yang menjalari tangannya masih terasa begitu nyata. Entah mengapa waktu itu ia tak mampu bergerak. Seolah-olah seluruh tubuhnya dicengkeram tangan tak kasat mata sang Guru Besar.

“Duduk!” perintah kakek tua itu tegas.

Sketrrer melemparkan diri ke kursi sembari menggertak kesal. “Aku keberatan dengan tugas macam ini! Yang bisa mengalahkan Terzien adalah strategi yang terarah dan masuk akal, bukan dongeng konyol macam itu!”

“Kupikir kita sudah bicara soal masuk-akal,” sahut Guru Besar. Secara janggal kakek itu tak lagi terlihat menakutkan atau mengancam. Ia kembali menjadi lelaki tua yang muram.

“Kunci-kunci Kanatron memang banyak diselubungi legenda hingga kebenarannya sendiri menjadi kabur,” lanjut sang Guru. “Tetapi cerita rakyat tidak datang dari udara kosong. Pasti ada serpihan kebenaran yang terselip di dalamnya. Untuk ini, kita – kau dan aku – setidaknya punya satu bukti.”

Kemudian orang tua itu mengeluarkan sesuatu dari saku tunik hitamnya. Benda tersebut bersegi empat, dengan kaki berulir mencuat dari setiap sudutnya. Tepiannya berlapis warna emas, lebih tua daripada emas murni sekalipun. Bagian dalamnya berhias warna biru yang lebih gelap dibanding lapis lazuli. Tepat di tengah-tengahnya, tertanam sebuah bola seperti kaca kristal berwarna jingga. Walaupun telah melihat benda semacam itu lebih dari seratus kali, Sketrrer tetap hanyut oleh pesonanya yang janggal. Anggun, kuno, dan mistis. Itulah Kunci Kanatron.

“Kunci itu memang nyata,” kata pemuda itu agak terpaksa. Ia tahu, dalam saku celananya pun tersimpan sebuah Kunci. Harta warisan pemberian ayahnya.

“Tapi tidak dengan semua legendanya,” ujarnya melanjutkan.

Sebagian kurasa lebih tepat,” koreksi Guru Besar. “Bagaimanapun, Kunci-kunci inilah yang dapat membangkitkan Kekuatan Dunia.”

“Itu bohong,” sergah Sketrrer. Bahkan sang ayah yang memberinya sebuah Kunci juga tidak mempercayai adanya Kekuatan Dunia. Benda itu hanya merupakan pusaka turun-temurun. Simbol kedarahbiruan. Sebab dua puluh pemilik Kunci yang pertama-tama merupakan Kanatron terhebat pada masanya.

“Milikku tidak beguna untuk apa pun selain pajangan,” tambah Sketrrer. “Lagipula tidak ada pemilik Kunci yang percaya dongeng kuno itu. Kecuali tentu saja, para budak buku yang senang menyiksa diri di perpustakaan.”

“Ya. Tapi apa yang dipercayai sebagian besar orang tidak sama dengan sebuah kebenaran. Bahkan kau sendiri melupakan bagian terpenting dari legenda itu: Kunci Kanatron hanya dapat membangkitkan Kekuatan Dunia jika keduapuluhnya berkumpul,” kata Guru Besar sambil memasukkan kembali Kuncinya ke dalam saku.  “Tetapi sejak ratusan tahun lalu dua puluh Kunci sudah tersebar di seluruh Shera, dan tidak ada yang mencoba mengumpulkannya. Lagipula, para budak buku yang kau benci itu telah memastikan beberapa kebenaran yang terkandung dalam cerita-cerita rakyat. Bahwa keberadaan Kunci memang nyata adanya – seperti yang kau sendiri tahu, bahwa jumlah seluruhnya memang dua puluh buah, dan bahwa Kekuatan Dunia memang benar ada. Aku berharap tidak perlu beradu pendapat denganmu lagi, tapi kau telah memaksaku untuk memberikan sedikit penjelasan.”

Sejujurnya Sketrrer hampir tidak ingat apa-apa mengenai penjelasan itu.  Guru Besar bicara panjang dan lama sekali. Kebanyakan tentang berbagai macam cerita rakyat dari seluruh penjuru dunia. Hanya sedikit saja yang terlihat cukup penting – itu pun lebih banyak menambah keraguan. Tidak ada satu pun dongeng kuno yang benar-benar memuat Kunci Kanatron. Sebaliknya kisah-kisah itu sering menceritakan kumpulan benda ajaib: kalung mutiara, pedang pusaka, gigi emas, dan lain-lain. Bahkan legenda para Kanatron lebih suka menyamarkan Kunci sebagai gerthalen – yang dua puluh. Sedangkan Kekuatan Dunia hanya pernah disebut sekali, dalam sebuah sajak kuno yang tidak terlalu terkenal.

Namun demikian, ada satu cerita yang menggelitik Sketrrer. Kisah itu meriwayatkan dua puluh jubah ajaib yang diturunkan langit kepada para pangeran hutan. Rupanya pendapat bahwa Kunci merupakan lambang kedarahbiruan diturunkan dari legenda ini. Maka mau tidak mau Sketrrer sedikit tersipu ketika mengingatnya. Sebelum Guru Besar, tidak pernah ada orang lain yang memberitahunya cerita itu. Kalau saja ada barangkali ia tidak akan terlalu membanggakan para leluhurnya.

Tapi, tidak juga. Tanpa adanya dongeng itu pun kehormatan keluarga Sketrrer telah terbukti. Sepanjang sejarah Perguruan Kanatron, keluarganya selalu menduduki jabatan penting, atau menyandang gelar terbaik: Socken Larl terbaik, Af Larl terbaik, tabib terbaik, dan Herkhan terbaik – dirinya sendiri.

Selanjutnya -->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar