Senin, 31 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (2 -1)


BAB DUA

Ketika melihat kakaknya melompat turun terburu-buru dari atas pohon, Canmi masih duduk termangu-mangu. Ia tak mengerti mengapa pemuda itu tampak kusut, muram, dan sedikit panik di tengah hari cerah seperti ini.

“Cepat berkemas!” seru kakaknya.

“Apa yang terjadi, Sketrrer?” tanya Canmi kebingungan. Tapi tangannya patuh juga memasukkan periuk kecil, centong kayu, serta sebungkus roti kering ke dalam ransel.

“Ada asap.”

Sketrrer empat tahun lebih tua daripada Canmi. Ia juga lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih cepat. Ketika Canmi masih berlambat-lambat menggulung alas tidurnya yang tipis, Sketrrer sudah selesai mengikat ransel. Pemuda itu mendengus tidak sabar, lalu bergegas membantu adik perempuannya menjejalkan selimut ke dalam tas.

“Cepat pakai,” katanya sambil menyodorkan ransel cokelat muda milik Canmi.

“Ke mana kita pergi?” Canmi menggantung ransel di punggungnya, membenahi bros berbentuk daun mint keperakan yang mengikat mantelnya.

“Naik ke punggungku, pegangan yang erat!” Kakaknya segera berlutut.

Canmi ingin bertanya lagi: mengapa?, tapi Sketrrer sudah menarik kedua lengannya, menopang pinggulnya, lalu melompat tinggi ke udara. Untuk sesaat Canmi merasa seperti dicerabut dari tanah. Tetapi perasaan itu segera berubah menjadi ringan tanpa bobot. Lalu sentakan. Ranselnya yang berat terguncang di punggung sehingga bahu gadis itu menjadi sakit. Tubuhnya melayang ke bawah seperti daun jatuh. Perutnya terbentur-bentur pada ransel Sketrrer yang menggembung di balik jubah hijau gelap pemuda itu.

Canmi memeluk leher kakaknya erat-erat. Secara janggal angin berputar-putar di antara pinggang dan bahu kakaknya seperti telur. Kemudian pecah, menyembur keluar sebagai sepasang sayap kuat dan lebar. Sewaktu sayap itu mengepak, sekali lagi Canmi tersentak. Sketrrer membawanya melonjak naik meninggalkan hamparan rumput hijau padang Preyar. Hanya sesekali saja pemuda itu mengepak-ngepak. Kedua sayapnya lebih sering terentang diam di samping badannya, sehingga lebarnya mencapai empat depa dari ujung satu ke ujung lainnya. Cara terbang rajawali. Canmi pernah membacanya di buku dan melihat burung-burung raksasa itu melayang-layang di langit Perguruan Kanatron. Meskipun kecintaan utamanya ialah ilmu tumbuh-tumbuhan, Canmi juga menyukai ilmu hewan. Tapi itu bukan berarti dia suka terbang.

Gadis itu kesal jika angin mengacak-acak rambut cokelat madu yang sudah susah payah ditatanya setiap pagi. Sekarang ujung-ujung rambutnya yang bergelombang mulai menggelitik wajahnya sehingga mata biru Canmi terasa gatal. Belum lagi jubah kelabu mudanya menjadi berat karena dihembus kencang ke belakang. Pipinya seperti ditampar ribuan jarum halus. Buku-buku jarinya memutih kaku, karena takut dan kedinginan.

Ia penasaran di mana dirinya berada sekarang. Udara yang mulai menusuk tulang membuatnya berpikir kalau Sketrrer terbang meninggalkan padang Preyar menuju Utara, ke Tanah Beku yang Jauh di mana salju diam sepanjang tahun. Canmi hanya memiliki sedikit pengetahuan ilmu bumi, tapi ia tahu Tanah Beku yang Jauh ialah ujung dunia. Tempat itu merupakan titik paling Utara dari Shera – Tanah Kehidupan yang ditinggalinya. Menurut cerita para Kanatron yang gemar bepergian, di sana berdiri sebuah istana es. Seluruh temboknya terbuat dari es murni yang berkilau seperti kristal di bawah cahaya bulan. Sejak pertama kali mendengar kisah itu, Canmi sudah terpesona.

Kini, mengira dirinya tengah melayang di atas Tanah Beku, ia memberanikan diri mengintip ke bawah. Hanya ada putih. Tidak ada kristal es, apalagi istana. Lalu perutnya mual dan kepalanya pusing. Canmi merapatkan kelopak mata. Ia merasa akan tergelincir jatuh, jadi dicengkeramnya tunik Sketrrer sekuat tenaga. Tapi tubuhnya tetap bergulir ke kanan. Pinggulnya ditopang seseorang. Lalu sentakan keras. Tubuh Canmi seakan dilontarkan kuat-kuat ke depan, terbanting ke kanan, lalu menukik tajam.

Ketika sentakan kedua datang, Canmi merasa seluruh cairan tubuhnya disedot ke bawah. Telinganya tersumbat. Ia terjun terbolak-balik: atas, bawah, atas, bawah, atas, bawah. Dan segera dia tak tahu lagi mana yang atas mana yang bawah. Perutnya terkocok ke segala arah. Ia hendak menyumpahi Sketrrer karena penerbangan gila yang menyebalkan ini, tapi mulutnya tertahan oleh hajaran debu. Lidah Canmi menjadi pahit. Nafasnya sesak. Dia ditarik turun, turun, turun, dan turun.

Lalu benturan. Rasanya seluruh raga Canmi melesak ke dasar dunia. Dagunya terantuk pada ransel Sketrrer yang besar. Sayup-sayup ia mendengar kakaknya menggerutu. Dibalasnya dalam hati. Seharusnya dialah yang layak kesal.

Sedikit terhuyung-huyung, kaki gadis itu menemukan pijakan padat. Ia sudah kembali ke tanah. Dipegangnya dahi dan telinganya yang terasa sakit dengan ujung jari. Aliran hangat memancar dari sana, meresap nikmat ke seluruh tubuh. Perlahan-lahan pendengaran Canmi kembali normal. Rasa pusing dan mualnya pun hilang. Ia membuka mata.

Warna kelabu sendu, bau hangus, serta amis darah menyapanya. Dia berada di dasar lembah yang bundar seperti mangkuk, bukan di sebuah padang es. Di hadapannya bukit batu kelam menjulang tegak dan muram. Barangkali bukit itu awalnya sebuah rumah besar. Gerbang-gerbang berambang lengkung, pintu-pintu pendek lebar, serta jendela-jendela persegi dipahat pada setiap sisinya. Namun genangan darah merah kehitaman, tanah gosong bekas terbakar, bangkai kambing serta domba dan kuda yang tergeletak sembarangan, juga tubuh-tubuh orang mati yang bergelimpangan di mana-mana, membuatnya terlihat seperti pemakaman. Langit kusam karena dipenuhi asap sisa pembakaran ladang yang agak tersembunyi di balik bukit.

“Apa yang terjadi di sini?” bisik Canmi seolah pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu banyak soal perang, namun pembunuhan wanita serta anak-anak yang tidak berdosa menurutnya adalah tindakan keji. Darah berdesir di balik kulitnya. Ia jijik. Siapa yang tega melakukan kejahatan semacam ini?

Selanjutnya -->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar