Kamis, 06 Januari 2011

Kanaen Etsa - Kirgalet (1)




BAB SATU

Hari itu datangnya tiba-tiba. Seperti angin yang tahu-tahu berubah arah, atau percikan bara di musim panas yang tiba-tiba berkobar menggila. Fajar menyingsing dengan tenang dan damai di gua enam puluh delapan kamar Hamer. Anak-anak sibuk bermain-main, para wanita menyiapkan sarapan, para pria menengok ladang atau bersiap pergi menggembala kambing domba. Kemudian mereka datang. Dua puluh orang asing berjubah kelabu muncul dari arah padang. Tanpa tombak atau panah atau pedang, mereka menyerbu, dan membunuh. Dan pagi hari di Hamer pun berubah menjadi malam.

Erdu merapatkan diri ke dinding. Dalam keremangan tangannya meraba-raba lekuk tembok batu yang tidak rata. Setiap kali dentuman terdengar, ia mencengkeram ceruk dinding erat-erat hingga kukunya terasa sakit. Erangan kematian yang menggaung samar setelah itu membuat hatinya terasa melesak ke perut. Erdu mengigit bibir. Ia berusaha menarik nafas dalam untuk menenangkan diri, namun malah terbatuk-batuk karena asap yang memenuhi ruangan. Semua pintu kamarnya ditutup, semua jendela dipalangi, semua lilin telah dimatikan, tapi Erdu tetap merasa tidak aman. Bahaya dapat menyusup dari celah-celah sempit palang kayu atau pintu, seperti sinar redup merah yang menerobos dari jendela sebelah kanan. Pria itu sudah enam puluh satu tahun umurnya. Punggungnya agak bungkuk dan kaki kirinya sedikit timpang. Ia tidak dapat berbuat banyak, selain menunggu.

Ada suara langkah yang lamat-lamat mendekat. Erdu langsung menahan nafas. Ia mendengar seorang wanita berlari terengah-engah menyusuri lorong sambil terus berseru memohon belas kasihan. Di belakang perempuan itu terdengar langkah lain. Lebih halus dan ringan, seperti angin yang bertiup di atas lantai batu. Lalu kilatan cahaya perak menyembur di balik jendela sebelah kiri. Si wanita memekik. Sesuatu membentur tembok, keras sekali sehingga karpet bulu yang tergantung padanya bergetar. Berkas cahaya segera lenyap. Suara perempuan tadi pun tidak terdengar lagi. Sebagai gantinya bau amis darah segar menguar di udara, menyusup lewat celah-celah sempit palang jendela. Erdu membuang nafas tanpa suara. Ia tahu, wanita itu sudah mati.

Samar-samar Erdu mendengar dua orang asing bicara di balik tembok dengan nada-nada rendah. Mereka pasti Terzien, Para Utusan Maut yang datang dari Tenggara. Jubah kelabu mereka menimbulkan bunyi kelepak halus, sepertinya ada angin yang tengah berhembus di lorong. Erdu berusaha menegakkan punggung. Jika maut datang sekarang, dia memilih untuk menjemputnya dengan sikap seorang ksatria. Tapi bagaimanapun jemarinya tetap gemetar. Nafasnya naik turun memburu dan jantungnya berdebar-debar. Ia mendengar salah satu Terzien mengeraskan suaranya. Hatinya mencelos. Erdu memejamkan mata sipitnya, bersiap mendengar suara palang jendela didobrak serta derap langkah kaki yang menyerbu masuk. Namun yang didengarnya malah langkah orang berlari pergi. Lagi-lagi seperti hembusan angin: sekejap ada, lalu lenyap. Terzien tidak menemukannya. Erdu menghela nafas. Ia selamat, untuk sementara waktu.

Mendadak suatu ledakan mengguntur hebat menggetarkan gua. Erdu terpelanting membentur tembok di sebelah kiri, lemari di sebelah kanan, lalu tersungkur menumbuk lantai. Piring-piring berjatuhan dari rak. Lemari kayu roboh. Busur serta anak panah terlempar ke lantai. Karpet-karpet bulu di dinding pun berguguran. Walaupun Erdu sudah menutup telinga, suara yang terdengar tetap memekakkan, seakan halilintar menyambar tepat di sisinya. Pria itu merasa pening. Pandangannya mengabur, dunianya terasa berputar. Kemudian terdengar dengung panjang. Telinganya basah oleh darah.

Erdu mendapati dirinya berbaring menyamping dengan kaki tertekuk sampai ke dada. Pakaian kulit menempel pada tubuh gemuknya karena keringat. Ia menghapus air mata yang tanpa sadar membanjir, mengerjap-ngerjap untuk memperjelas penglihatannya. Kini dia berada di pojok sebuah bilik yang porak poranda. Meja batu bundar yang lebar di tengah ruangan tertimbun berbagai macam barang: tenunan Elesi yang indah-indah, kain halus, pakaian kulit, karpet bulu, gantungan logam, manik-manik, gerabah pecah, serta piala-piala. Debu menyelimuti tumpukan itu seperti onggokan sampah. Hanya setengah lengan jauhnya dari wajah, Erdu melihat busur tergeletak bersama anak-anak panahnya. Namun ia tak berhasrat menyentuhnya. Tubuh pria tua itu terasa dingin, gemetar. Sebentar kemudian ia merasa dunia mulai menggelap. Dirinya ringan, seperti udara yang hendak dicabut paksa dari dagingnya. Ia mati. Bukan. Ia hanya setengah mati. Antara sadar dan tidak, Erdu berharap kematian cepat datang menjemput. Namun maut enggan memenuhi permintaannya. Erdu tetap tergeletak di lantai batu. Tidak merasakan apa pun selain dingin, ringan, dan basah.

Jika ada seorang yang hendak dipersalahkannya, dia tidak lain adalah Erdu sendiri. Dulu dia meremehkan pesan ayahnya: siapa yang menanam benih, harus makan buahnya juga. Dia hanya yakin pada akal dan kecerdasan. Hal yang mengantarkannya diangkat menjadi Erdu, sang tetua yang menguasai seluruh Hamer. Tetapi tadi pagi, pikiran tajamnya ternyata tak mampu berbuat banyak.

Ketika para Terzien datang, Erdu terpaku di balik jendela kamarnya. Ia melihat orang-orang berjubah kelabu itu masuk melompati pagar batu pendek di pinggir desa. Dalam waktu singkat mereka membantai seratus pemuda Hamer yang mahir berkelahi dengan api, angin, serta lecutan halilintar kecil. Kemudian mereka segera menyerbu ke dalam gua, kecuali satu orang yang ditinggalkan untuk berjaga-jaga di luar. Lalu bunyi letupan berdentum, lenguhan lembu panik, ringkikan kuda ketakutan, jeritan kematian orang-orang, semua terdengar silih berganti. Para penghuni gua Hamer mulai meregang nyawa. Tetapi Erdu mereka, orang yang mestinya melindungi desa, beringsut diam-diam ke sudut kamar untuk bersembunyi. Jika mendengar hal ini, banyak orang akan menganggapnya pengecut. Namun Erdu berkeras bahwa tindakannya itu cerdas. Setiap orang pandai mengenali batasan-batasannya.

Siapa pun tahu, melawan Terzien merupakan tindakan sia-sia. Kekuatan, keganasan, serta kekejaman mereka sudah tersohor di mana-mana. Mereka dapat menciptakan api tanpa kayu atau batu pemantik, mengguncang seluruh gua dengan tangan kosong, memanggil halilintar di pagi hari tanpa hujan – Erdu sudah melihatnya sendiri. Apakah yang dapat dilakukan seorang manusia biasa seperti dirinya untuk menghadapi orang-orang semacam itu? Jadi dengan terpaksa, Erdu harus mengakui kalau ayahnya benar. Ia pernah mengusir para pengelana dari desanya, menghukum mati anak-anak pelayannya, juga merampok hak para gembala dan pedagang asing. Sekarang hari pembalasannya tiba. Para Terzien-lah yang menjadi algojonya.

Rasanya Erdu sudah berbaring di lantai batu selama bertahun-tahun. Ketika ia siap untuk mati, maut malah tidak kunjung datang. Haruskan ia keluar dari kamarnya, menyongsong maut seperti semua orang lain? Delapan belas istrinya sekarang mungkin telah meninggal. Begitu juga delapan puluh anaknya serta cucu-cucunya. Selain mereka masih ada pula sepupu-sepupunya, iparnya, saudara dari pihak ini dan pihak anu. Barangkali hanya Erdu sendiri yang tersisa dari tiga ratus orang yang menghuni gua batu Hamer. Padahal hanya dialah yang menanam benih kejahatan itu. Namun sekarang seluruh keluarganya harus ikut mengalami derita. Ini tidak adil. Benak Erdu memberontak dalam tubuhnya. Saudara-saudaranya tidak pantas mati karena kesalahan yang tidak mereka perbuat. Ia tak dapat menerima hal semacam itu. Ayahnya tentu telah berbuat kesalahan: hukum itu tak pernah ada. Bukan dia yang menyebabkan Hamer luluh lantak, tapi para Terzien. Erdu tidak pantas dipersalahkan. Ia juga tak pantas dihukum.

Rasa panas menjalari ujung-ujung jemarinya, terus meresap sampai ke dalam dada. Sekonyong-konyong pandangan Erdu kembali terang. Ia melihat timbunan berdebu di tengah kamar, busur yang tergeletak di depan wajahnya, pecahan tembikar, juga cahaya merah yang kini menari di dinding batu telanjang. Nafasnya menjadi sesak karena asap. Pria tua itu batuk beberapa kali. Ia menatap tangan kanannya. Jemari cokelatnya kotor kehitaman. Akan tetapi rasanya hangat, dan hidup.

Jari-jari Erdu menegang, menyambar busur di hadapannya lalu memasang panah. Sedikit kepayahan, ia berjuang duduk tegak menghadap pintu. Benaknya berbisik bahwa bahaya tidak datang lewat jendela, namun dari pintu oak yang berdiri di seberang ruangan. Erdu melenturkan busurnya. Otot-otot bahunya berkeriut ketika dipaksa meregang. Ia tidak ingin mati. Dia harus hidup.

Tanpa kemampuan pendengarannya, Erdu tidak dapat memperkirakan mendekatnya bahaya. Ia tak bisa lagi mendengar langkah-langkah halus ringan para Terzien atau kelepak jubah kelabu mereka. Maka yang bisa diharapkannya hanya nasib mujur. Sambil mengawasi pintu yang diam bergeming, Erdu teringat kabar-kabar burung yang biasa dibawa para gembala. Beberapa kisah menceritakan tentang Kanatron, satu-satunya kekuatan yang dapat setanding dengan para Terzien. Mereka juga dikenal dengan nama lain: Para Penjaga Perdamaian dan Pelindung Kaum Lemah. Ajaibnya, menurut cerita mereka tidak pernah datang terlambat, seolah-olah langit yang mengutusnya menyelamatkan orang dari Utusan Kematian. Kini sebagaimana Erdu telah mempercayai keberadaan Terzien, ia pun menaruh keyakinan akan para Kanatron. Mereka pasti datang, mengusir para Terzien lalu menyelamatkan Erdu. Mereka akan datang sebentar lagi, sebelum bahaya menyeruak masuk dari ambang pintu.

Tiba-tiba papan kayu itu bergetar. Erdu menahan nafas. Sesuatu mendobrak pintunya lalu melemparkan diri ke dalam kamar. Bukan Kanatron. Tetapi makhluk hitam legam yang menggelepar sebelum menabrak tumpukan barang di tengah ruangan. Erdu melepas panah. Batang licin runcing itu melintir, menghujam tepat sasaran. Saat makhluk hitam itu menggeliat kesakitan, Erdu baru mengenalinya sebagai seekor kuda kelas satu. Tapi sebelum pria tua itu dapat memasang anak panah lain, bahaya yang sebenarnya sudah datang. Ringan dan cepat seperti angin, orang itu menerobos masuk, melompati bangkai kuda yang lehernya menjulur di antara piala, lalu tumpukan kain tenun. Erdu menyambar sebatang panah. Ia merasa dirinya memekik kencang. Sang Terzien tinggal dua langkah di hadapannya. Erdu menerjang. Anak panah diayunkannya seakan belati. Menyambar, dan menusuk. Lalu tenggorokannya tercekat.

Anak panah Erdu terlontar berputar-putar di udara sebelum jatuh tersangkut di antara piala logam. Sementara pria tua itu berlutut pada kaki kanannya, menatap kosong ke depan, lalu roboh. Kepalanya terkulai miring, tangannya memegang dada. Di antara jemarinya mengalir lelehan merah cerah. Darah segar. Erdu telah mati.

Di manakah Kanatron?


Bab selanjutnya -->

3 komentar:

  1. sudah di ym ya komentarnya :D

    (anggra)

    BalasHapus
  2. uwaaah, kirgalet versi baru XD
    good job, yin :jempol:

    hmm, jadi ini pake POV erdu ya. kuharap doi bukan sekedar orang-numpang-lewat-yg-mati-di-awal-bab tapi punya peranan lebih besar di bab2 berikutnya :p

    ga ada keluhan di bagian ini, kapan2 kubaca lanjutannya ya. sekarang kerja dulu ^^;

    BalasHapus
  3. @mami anggray
    okeh okeh XD
    thaankss ^^

    @kk aphro
    ahaha dari kapan hari ku sudah memikirkan itu bolak balik dan akhirnya tetep memilih pake prolog dr org yg langsung mati XD
    mungkin ntar klo dapet ide yg lebih bagus kuganti
    sekalian pengen belajar membuat "ironi" XD (ditabok)
    thaanksss

    BalasHapus